Tagged: Bpjs, kanker, kanker kolon
- This topic has 0 replies, 1 voice, and was last updated 5 years, 10 months ago by farmasetika.com.
-
AuthorPosts
-
February 24, 2019 at 6:20 am #11466
Hi farmasetikers!
Tidak ditanggungnya obat Bevacizumab dan Cetuximab untuk pengobatan kanker usus besar mulai per 1 Maret 2019 oleh BPJS Kesehatan menuai kecaman dari Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB) dan juga DPR RI. Aturan terkait penghapusan obat kanker usus tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/707/2018.Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu Melakukan Protes atas Dua Obat Kanker Usus yang Tidak Ditanggung BPJS Kesehatan
CELEBES TOP NEWS – Tidak ditanggungnya obat Bevacizumab dan Cetuximab untuk pengobatan kanker usus mulai per 1 Maret 2018 oleh BPJS Kesehatan mendapatkan protes dari Dokter yang tergabung dalam Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB).
“Kami minta kebijakan tersebut dihapus karena tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Kami menduga kebijakan diambil tanpa mendengar masukan dari dokter ahli yang menangani kasus tersebut,” kata James Allan Rarung dari PBID, Rabu (20/02/2019).
Kebijakan penghapusan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/707/2018 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/659/2017 tentang Formularium Nasional (Fornas). Pemerintah tak lagi menanggung pembiayaan kedua obat tersebut per 1 Maret 2019.
Dalam kebijakan yang baru, Cetuximab masih bisa diberikan namun dengan kondisi tertentu (restriksi). Sedangkan Bevacizumab dihapuskan sama sekali dari dalam Fornas. Kementerian Kesehatan mengklaim keputusan tersebut sudah melalui pertimbangan cost effectiveness yang tepat.
sumber : celebtopnews.com
Dua Obat Kanker Tak Ditanggung BPJS, PDIB: Tim Dokter HTA Tak Tepat
tirto.id – Obat kanker kolorektal (usus besar dan anus) jenis Bevacizumab dan Cetuximab tidak lagi dijamin dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) usai kedua obat itu dihapus dari Formularium Nasional (Fornas) per 1 Maret 2019.
Sebelumnya, Kemenkes membentuk tim Health Technology Assessment (HTA) yang bertugas melakukan kajian pada kedua jenis obat itu sehingga keluar putusan Fornas tersebut.
Menanggapi hal itu, Ketua Umum Persatuan Dokter Indonesia Bersatu James Allan Rarung menyayangkan pembentukan tim HTA ini tidak melibatkan dokter yang kompeten sehingga keluar putusan tersebut.
“Seharusnya timnya itu berisi dokter-dokter [ahli digestif] yang menghadapi langsung penyakit itu [kanker kolorektal]. Dari perwakilan mereka ditarik,” ujarnya di Jakarta Pusat, Kamis (21/2/2019).
Setelah itu, menurutnya, barulah para ahli yang relevan dilibatkan dalam tim. “Baru ambil peneliti yang berhubungan dengan penyakit tersebut,” tambahnya.
Menurut James, perekrutan HTA ini aneh, sengaja dibentuk untuk legitimasi. “Kalau tidak ada surat dari dokter digestif, mana kita tahu obat itu dihapus tanpa melibatkan dokter yang menangani kasus tersebut?” tuturnya.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar juga menyatakan hal yang sama, menurutnya, ada yang kurang dalam pembentukan tim HTA yang tidak melibatkan dokter yang memang berada di bidang kanker kolorektal.
“Bahwa proses pembuatan keputusan menkes ini tidak melibatkan stakeholder JKN sehingga menuai protes dari stakeholder JKN seperti Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (IKABDI), BPJS Watch, dan komunitas penyintas kanker,” ujarnya di Jakarta Selatan, Rabu (20/2/2019).
sumber : tirto.id
Ini Penjelasan Dokter Tentang Penghapusan 2 Obat Kanker Dari BPJS
MANADO, SULUTDAILY || Ketua Umum Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB) dr. James Allan Rarung, Sp.OG, MM menjelaskan tentang 2 obat kanker yang tidak lagi akan di tanggung dalam kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) Kesehatan.
Dikatakannya obat-obatan di dalam Formularium Nasional (Fornas) merupakan panduan dalam hal pengadaan dan penggunaan untuk tata laksana penyakit, itu intinya. Hal ini menjadi dasar bagi BPJS Kesehatan untuk menanggung atau menjamin apabila faskes menggunakan obat-obatan tersebut. Pertanyaannya adalah siapa yang membuat pilihan terapi pada suatu kasus penyakit? Tentu saja seorang ataupun tim dokter yang ahli atas kondisi penyakit tersebut. Dasarnya adalah keilmuan dan pengalaman yang mereka dapatkan sepanjang hidup dan pekerjaan mereka sebagai dokter. Ini harus ditekankan. Lalu siapa yang memakai obat ini, jelas adalah para pasien yang menderita penyakit tertentu tersebut.
Secara khusus, apabila pilihan obat sebagai alat terapi di dalam Fornas dihapus, maka tidak bisa lagi diresepkan kepada pasien peserta JKN/ BPJS Kesehatan, karena tidak akan dijamin atau ditanggung lagi, kasarnya adalah tidak akan dibayar penggantian saat klaim ke BPJS Kesehatan.
Apabila dokter tetap meresepkan, maka konsekwensinya adalah faskes/ RS yang akan menanggung dan takkan ada penggantian klaim obat tersebut. Konsekwensi berikutnya adalah pasien dengan terpaksa harus membeli dengan uangnya sendiri.
Memang alasan Kemkes mengeluarkan ataupun membatasi (restriksi) hanya pada kelompok kanker yang lain, selain kanker kolorektal atau dengan kata lain tidak ada atau tidak bisa lagi digunakan untuk kanker kolorektal, maka pilihan para dokter akan berkurang atau makin lebih dibatasi. Padahal dalam sistem pelayanan pada pasien JKN, tidaklah boleh ada pembatasan manfaat apabila masih memiliki efek terapi.
Tentu saja bagi para dokter yang masih memiliki referensi atau rujukan ilmiah yang kuat bahwa obat ini masih efektif dalam kondisi dan karakteristik tertentu, akan terkekang independensi profesional dan keilmuannya. Tentu saja bagi pasien, lebih “menakutkan” lagi, dimana mereka menjadi korban atas suatu kebijakan yang seolah-olah mengenyampingkan sisi kemanusiaan demi alasan sistem finansial ataupun efisiensi yang masih debatabel.
Kemkes harus segera mencabut kebijakan ini. Karena membatasi profesionalitas kedokteran dan tentu saja memberikan efek merugikan pada pasien yang memiliki hak terhadap akses pengobatan yang terstandar dan bermutu.
Segera evaluasi kembali dan jangan lupa melibatkan para dokter yang terlibat langsung menangani penyakit ini. Jangan hanya melibatkan pihak lain yang justru hampir tak pernah atau sama sekali tidak menghadapi langsung pasiennya. Karena secara ilmiah tidak boleh mengambil keputusan hanya pada satu atau dua penelitian saja, tetapi harus secara komprehensif dan ada pembanding penelitian lain yang setara ataupun bahkan lebih baik lagi.
Sumber : sulutdaily.com
Dalam Kondisi Tertentu, 2 Obat Kanker Ini Tetap Ditanggung BPJS
Jakarta – Keputusan pemerintah tidak lagi menanggung obat kanker sebetulnya bukan hal baru. Sebelumnya, pemerintah memutuskan tak lagi menanggung pembiayaan Trastuzumab yang digunakan dalam pengobatan kanker payudara HER 2 Positif. Namun pemerintah akhirnya menghapus keputusan tersebut setelah menuai protes dari pemerintah.
Kali ini, pemerintah kembali menghapus obat kanker kolorektal Bevacizumab dan Cetuximab dari Formularium Nasional (Fornas). Pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tak lagi menanggung pembiayaan kedua obat tersebut. Kendati begitu, mungkinkah pembiayaan Bevacizumab dan Cetuximab kembali ditanggung layaknya Trastuzumab?
“Seorang dokter bisa mengadvokasi jika ada kasus yang sangat spesifik, tentunya dia harus merawat atau berhadapan langsung dengan penyakit tersebut. Namun pada dasarnya Bevacizumab dan Cetuximab tidak lagi masuk dalam Fornas,” kata Wakil Ketua Komisi Kebijakan DJSN Ahmad Ansori pada detikHealth, Rabu (20/02/2019).
Ahmad mengatakan, masyarakat tak perlu khawatir dengan keputusan pemerintah tak lagi menanggung pembiayaan Bevacizumab dan Cetuximab. Pemerintah telah menyiapkan obat pengganti dengan efektivitas yang sama denga dua obat tersebut.
Selain itu, DJSN juga mengawasi pelaksanaan kebijakan yang akan dimulai per 1 Maret 2019. Kegiatan monitoring dan evaluasi (monev) ini bertujuan memantau jika ada efek kebijakan yang merugikan masyarakat.
Sebelumnya, para dokter yang tergabung dalam Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB) menolak penghapusan Bevacizumab dan Cetuximab. Keputusan dinilai tak sesuai dengan kondisi masyarakat, serta diambil tanpa mempertimbangkan suara para ahli.
“Kami tidak setuju dengan keputusan penghapusan Bevacizumab dan Cetuximab. Kami tidak ragu jika memang harus melalui jalur hukum,” kata Ketua PDIB James Allan Rarung.
Sumber : health.detik.com
Ketua DPR Minta Obat Kanker Usus Tetap Ditanggung BPJS
akarta, CNN Indonesia — Ketua DPR Bambang Soesatyo meminta kepada Kementerian Kesehatan untuk meninjau kembali keputusan mereka untuk mengeluarkan dua jenis obat kanker usus besar dari daftar layanan yang ditanggung BPJS Kesehatan.
Ia mengatakan keputusan Kementerian Kesehatan tersebut telah bertentangan dengan Pasal 22 UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Pasal 22 UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Pasal 46 Perpres Jaminan Kesehatan mengatur ketentuan bahwa jaminan kesehatan mempunyai sifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan.
“Prinsipnya kami mendorong pemerintah untuk mencarikan solusi terbaik dengan tidak menurunkan standar mutu pelayanan kesehatan, mengingat terhadap obat kanker yang dihapus tersebut tidak memiliki pengganti yang lain kecuali dua obat yang sudah tidak dijamin lagi,” katanya dalam pernyataan yang dikeluarkan di Jakarta, Kamis (21/2).
Kementerian Kesehatan memutuskan untuk menghilangkan obat kanker usus besar atau kolorektal dari daftar yang ditanggung BPJS Kesehatan. Penghapusan yang berlaku 1 Maret tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/707/2018 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/659/2017 tentang Formularium Nasional
Dalam keputusan yang dikeluarkan 19 Desember 2018 tersebut setidaknya ada dua jenis obat kanker yang dihilangkan dari layanan BPJS Kesehatan. Pertama, obat bevasizumab yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan kanker.
Kedua, cetuximab yang digunakan untuk pengobatan kanker kolorektal (kanker usus besar). Untuk jenis obat bevasizumab, dalam keputusan menteri tersebut, sudah tidak masuk dalam formularium nasional obat yang ditanggung BPJS Kesehatan.
Padahal, dalam keputusan menteri sebelumnya, obat masih masuk dalam daftar. Obat jenis tersebut masih ditanggung untuk pengobatan kolorektal dengan peresepan maksimal sebanyak 12 kali.
Sementara itu untuk jenis cetuximab, dalam keputusan menteri kesehatan yang baru, pemberian diberikan dengan peresepan maksimal sebanyak enam siklus atau sampai terjadi terjadi perkembangan atau timbul efek samping yang tidak dapat ditoleransi mana yang terjadi lebih dahulu.
Dalam keputusan menteri yang lama, peresepan diberikan maksimal 12 kali.
sumber : cnnindonesia.com
DPR Akan Panggil Menkes soal Penghapusan Obat Kanker di BPJS
Jakarta, CNN Indonesia — Ketua Komisi XI DPR Dede Yusuf Macan Effendi berencana segera memanggil Kementerian Kesehatan untuk meminta keterangan soal penghapusan obat kanker usus besar atau kolorektal dari daftar obat yang ditanggung layanan BPJS Kesehatan.
“Kami akan rencanakan atur waktunya untuk memanggil Kemenkes, untuk kita minta keterangannya usai reses ya,” Dede saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (22/2).
Aturan terkait penghapusan obat kanker usus tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/707/2018.
Dalam keputusan itu ada dua jenis obat kanker yang dihilangkan dari layanan BPJS Kesehatan. Pertama, obat bevasizumab yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan kanker. Kedua, cetuximab yang digunakan untuk pengobatan kanker kolorektal (kanker usus besar).
Untuk jenis obat bevasizumab, dalam keputusan menteri tersebut, sudah tidak masuk dalam formularium nasional obat yang ditanggung BPJS Kesehatan.
Lebih lanjut, Dede menyayangkan pemerintah menghapus dua obat kanker itu. Sebab, kata dia, hal itu akan memberatkan para penyintas kanker usus besar karena harus menanggung sendiri biaya kedua obat tersebut.
“Alasannya apa mereka mau mencabut obat itu? apa karena pertimbangan biaya atau karena pertimbangan BPJS-nya. Sebab, dalam peraturan disebutkan pembayaran premi iuran yang dilakukan oleh peserta sudah harus mendapatkan semua jenis pelayanan kesehatan,” kata dia.
Lebih lanjut, Dede menyangsikan pemerintah sedang melakukan penghematan untuk mencabut kedua obat kanker tersebut dari BPJS.
Bila alasan penghematan, Dede menyarankan pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan pembiayaan obat melalui cara urun biaya atau Coordination of Benefit (CoB) untuk menekan biaya.
“Mungkin seharusnya Kemenkes menerapkan alternatif cara lain bila dirasa ingin menghemat, misalnya dengan CoB atau misalnya dengan bekerjasama dengan asuransi lainnya,” kata dia.
Selain itu, Dede menyatakan seharusnya pemerintah bisa mengeluarkan strategi alternatif sebagai pengganti obat tersebut ketimbang menghapuskannya dari Formularium Nasional.
“Komisi IX memandang bahwa penghapusan obat itu harus jelas mekanismenya, apabila obat itu dirasakan tak bermanfaat lagi, maka harus ada alternatif pengganti obat lainnya,” kata dia.
Tapi, kata Dede, kalau kemudian obat itu masih bermanfaat bagi para penderita kanker, terutama kanker kolorektal, itu harus tetap diadakan dan tak boleh dicabut.
sumber : cnnindonesia
-
AuthorPosts
- You must be logged in to reply to this topic.