- This topic has 0 replies, 1 voice, and was last updated 8 years, 2 months ago by Nasrul Wathoni.
-
AuthorPosts
-
November 2, 2016 at 3:04 pm #5139
Hi farmasetikers!
Staf Clinical Research Supporting Unit (CRSU) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr J Hudyono MS, SpOk, MFPM memberikan tips terkait pembelahan obat bentuk tablet dengan maksud mengurangi dosis obat.
Foto: thinkstockMengurangi Dosis dengan Membelah Obat Tablet, Boleh atau Tidak?
Jakarta, Pernahkah Anda membelah obat berbentuk tablet untuk mengurangi dosis obat sebagai upaya ‘pengiritan’? Misalnya saja obat yang mesti dikonsumsi 250 mg tapi Anda membeli obat serupa dengan dosis 500 mg kemudian membelahnya?
Nah, sebelum melakukan hal itu, ada baiknya diketahui bahwa memang ada obat yang boleh dipotong dan yang tidak. Staf Clinical Research Supporting Unit (CRSU) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr J Hudyono MS, SpOk, MFPM mengatakan pada obat tablet yang boleh dipotong, biasanya terdapat garis pembelah di tengah-tengah obat tersebut.
“Tapi umumnya kalau nggak ada garis di tengahnya itu, nggak boleh dipotong,” tutur dr Hudyono dalam Pfizer Journalist Class ‘Konsumsi Obat yang Aman, Hindari Obat Palsu’ di Almond Zucchini, Prapanca, Jakarta Selatan, baru-baru ini.
Untuk membelah obat, dr Hudyono mengatakan idealnya digunakan alat khusus. Namun, pasien bisa juga menggunakan pisau untuk memotongnya. Meski memang, membelah tanpa memakai alat khusus bisa membuat obat tidak terbagi sempurna.
“Ya memang bisa saja nggak sama persis belahannya, tapi kalau kita lihat secara fisik masih cukup rata kebaginya, okelah tidak apa-apa,” tambah pria yang juga menjadi staf Penilai Obat Jadi Badan POM ini.
Ketika obat yang seharusnya tidak boleh dibelah tetapi dibelah juga, apa risiko yang bisa terjadi? dr Hudyono mengatakan efektivitas obat yang dikonsumsi bisa tidak efektif karena dosisnya tidak sesuai.
Apalagi, ketika dokter memberi obat dengan takaran resep tertentu, pastinya sudah disesuaikan dengan kondisi pasien. Selain obat yang tidak boleh dibelah, ada pula obat yang tidak boleh digerus atau dikunyah. Menurut dr Hudyono, umumnya prinsip itu berlaku pada obat yang bersifat slow release.
Ketika digerus atau dikunyah, reaksi obat dalam tubuh bisa terlalu cepat mencapai kadar puncaknya. Akibatnya, efektivitas obat pun berkurang. Otomatis, konsumsi obat tidak menimbulkan efek seperti yang diinginkan atau dengan kata lain, keadaan pasien tidak membaik.
Sumber ; detik.com
Sedikit koreksi, semua tablet sebenarnya tidak boleh digerus, setiap sediaan obat seperti tablet dan kapsul telah dilakukan pengujian in vitro dan in vivo serta di uji secara klinis dalam bentuk utuh.
Contohnya, uji disolusi untuk menguji kelarutan obat dan uji disintegrasi untuk menguji hancurnya obat, setiap obat dirancang untuk hancur dan diabsorbsi di target tertentu, umumnya di lambung atau usus untuk selanjutnya di absorbsi melalui mekanisme difusi yang akhirnya sampai ke aliran darah. Proses perjalanan obat ini dikenal dengan absorbsi dan distribusi atau fase biofarmasetika.
[Baca : Kisah Perjalanan Obat dalam Tubuh Hingga Berkhasiat Sembuhkan Penyakit]
Untuk urusan dibelah khususnya bentuk tablet, alasan diatas tepat yang diungkap oleh dr J Hudyono, sejauh dosis tepat, masih dianggap memenuhi syarat untuk proses biofarmasetiknya, walaupun tetap akan lebih optimal dalam bentuk utuh. Hal ini bisa dilakukan untuk emergensi dan jika dipasaran tidak tersedia dosis setengahnya.
Singkatnya, cape-cape para apoteker di bagian produksi, quality control, riset dan pengembangan membuat suatu sediaan obat bentuk tablet yang telah mengeluarkan biaya besar untuk memperoleh efikasi terapeutik optimum, tetapi penggunaannya malah digerus.
[Baca : Begini Perjuangan Peneliti Farmasi Menemukan Obat Baru]
-
AuthorPosts
- You must be logged in to reply to this topic.