- This topic has 0 replies, 1 voice, and was last updated 6 years, 10 months ago by farmasetika.com.
-
AuthorPosts
-
February 16, 2018 at 9:40 am #8471
Hi farmasetikers!
Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) resmi melarang peredaran obat yang mengandung Policresulen konsentrat cair 36% termasuk Albothyl. Seorang Praktisi Farmasi Industri, Bambang Priyambodo melalui akun facebooknya mengungkapkan analisisnya.KASUS ALBOTHYL : KASUS “BIASA” YANG MENJADI “LUAR BIASA”
Belum usai “kehebohan” atas kasus ditemukannya fragmen DNA babi pada sejumlah obat, dunia industri farmasi di Indonesia kembali “diguncang” oleh kasus tersebarnya sepucuk surat dari Salah satu Deputi di Badan POM kepada salah satu industri farmasi yang cukup besar di Tanah Air tentang “Hasil Kajian Aspek Keamanan” suatu produk yang telah dipasarkan. Sebenarnya kasus ini adalah hal yang “biasa – biasa” saja dan “sangat lumrah” terjadi di industri farmasi. Saya tidak “berpolemik” terhadap OBAT-nya, namun lebih menyoroti soal “Hasil Kajian Aspek Keamanan” produk, yang lazimnya disebut sebagai “Post Marketing Surveillance” (bahasa Indonesia: “Surveilan”).
Post Marketing Surveillance atau Surveilan, merupakan hal yang sudah sangat dikenal di dunia kefarmasian sebagai satu rangkaian dari “Proses Penemuan dan Pemasaran Obat Baru” (lihat gambar 1) dan juga hal ini merupakan bagian dari TUGAS Badan POM sebagai Otoritas Pengawasan Obat di Indonesia. Tugas yang sama, yang dilakukan oleh SELURUH Otoritas Pengawasan Obat di seluruh dunia. Jadi, memang sudah menjadi tugas Badan POM untuk melakukan Post Marketing Surveillance ini (lihat gambar 2). Bentuk pelaksanaan dari fungsi ini bisa bermacam – macam, termasuk menerima masukan dari para ahli, praktisi maupun profesional lainnya. Bahkan masyarakat-pun bisa melaporkan kepada Badan POM apabila terjadi kasus – kasus yang berkaitan dengan penggunaan obat. Jadi sekali, bahwa kasus ini sebenarnya hal yang SANGAT BIASA, menjadi sedemikian “heboh” karena disebar-luaskan sedemikian masifnya oleh para netizen di berbagai media sosial.
Apakah hal ini hanya terjadi pada kasus obat Albothyl saja? Tentu saja TIDAK !! Ada buaaanyak kasus di mana suatu produk ditarik dari peredaran karena aspek keamanan produk yang lebih tinggi resikonya dibanding dengan manfaatnya. WHO mencatat ada lebih 462 (Empat Ratus Enam Puluh Dua) obat yang ditarik dari peredaraan setelah mendapat Nomor Ijin Edar (NIE) alias Nomor Registrasi. Lihat daftarnya di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4740994/ dan di sini https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_withdrawn_drugs
Contoh obat yang ditarik dari peredaran antara lain misalnya cerivastatin suatu obat antihiperkolesterolemia yang setelah dipasarkan lebih dari 10 tahun baru diketahui ternyata dapat merusak ginjal, Entero-vioform (kliokuinol) suatu obat anti disentri amuba yang pada orang Jepang menyebabkan kelumpuhan pada otot mata (SMON disease), fenil propanol amin (PPA) yang sering terdapat pada obat flu harus diturunkan dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih dari 15 mg karena dapat meningkatkan tekanan darah dan kontraksi jantung yang membahayakan pada pasien yang sebelumnya sudah mengidap penyakit jantung atau tekanan darah tinggi, troglitazon suatu obat antidiabetes di Amerika Serikat ditarik karena merusak hati setelah lebih dari 15 tahun dipasarkan.
Sedangkan di Indonesia – apabila Anda jeli – di pasaran banyak sekali obat – obat yang menggunakan nama dengan awalan “NEO” (cari sendiri ya… buaaanyak koq, termasuk obat yang sangat laris itu). Nah obat – obat tadi juga AWAL-nya juga mengandung bahan obat atau dosis obat yang dari hasil kajian aspek keamanan obat oleh Badan POM dinyatakan bisa membahayakan orang yang mengkonsumsinya. Obat – obat tersebut kemudian ditarik dari peredaran dan si Produsen kemudian melakukan “reformulasi” dan mengajukan permohonan Nomor Registrasi baru, dengan nama yang (hampir) SAMA dengan obat yang ditarik tadi tapi dengan penambahan awalan “NEO”, sehingga kemudian ada obat dengan nama “Neo titik – titik”. Untuk kasus Albothyl ini, setahu saya memang pada awalnya adalah karena adanya pengaduan dari “sekelompok” profesional yang melaporkan adanya kejadian “Efek Samping Obat (ESO)” pada beberapa orang yang menggunakan obat ini. Dari pengaduan tersebut Badan POM kemudian mengadakan Panel Ahli yang pada akhirnya memutuskan untuk mencabut ijin edar dari obat yang bersangkutan (gambar 3).
Jadi sekali lagi kejadian ini bukanlah hal baru.. Bukan pula kejadian yang “luar biasa”.. Sesuatu yang sangat umum.. sangat lumrah yang terjadi di industri farmasi. bahwa suatu obat diketahui memiliki efek samping setelah sekian lama (bahkan bisa puluhan tahun) setelah di pasarkan. Oleh karenanya Badan POM juga mewajibkan industri farmasi untuk melakukan FARMAKOVILIGANS. Kewajiban ini pun sudah dituangkan dalam Peraturan Kepala Badan POM.
Hal yang amat sangat disayangkan dari kasus (jika bisa dikatakan sebuah “kasus”) menurut saya adalah justru soal bagaimana mungkin sebuah surat yang bersifat RAHASIA dari sebuah instansi yang (seharusnya) sangat kredibel, bisa sampai “bocor” keluar sehingga tersebar luas ke publik. Saya kira hal ini merupakan suatu “peringatan” bagi para pejabat di Badan POM yang baru saja dilantik, agar hal – hal semacam ini bisa tidak terulang kembali. Bukan tidak mungkin akan timbul “kecurigaan” dari masyarakat bahwa ada “oknum” di lembaga ini yang “sengaja membocorkan” surat tersebut untuk menimbulkan “kegaduhan” di masyarakat karena peristiwa yang sama terjadi dalam selang waktu yang tidak terlalu lama. Wallahu’alam.
Sumber : facebook
-
AuthorPosts
- You must be logged in to reply to this topic.