Tagged: Obat, obat racikan, peredaran obat, resep
- This topic has 0 replies, 1 voice, and was last updated 8 years, 4 months ago by Hafshah.
-
AuthorPosts
-
August 10, 2016 at 4:17 pm #3480
Masih terkait peredaran obat, peredaran obat racikan tanpa resep dokter banyak ditemukan di apotek kota Semarang, Selasa,(9/8/2016). Berikut hasil penelusuran Tribun Jateng selengkapnya.
pic: jateng.tribunnews.com (Ilustrasi)
Apotek Jual Obat Racikan Tanpa Resep Dokter dan Hanya Berbungkus Kertas Koran
SEMARANG, TRIBUNJATENG.COM – Peredaran obat racikan tanpa resep dokter banyak ditemukan di apotek kota Semarang, Selasa,(9/8/2016).
Obat racikan tersebut terdiri atas antibiotika yang dijual secara bebas tanpa menggunakan resep dokter.
Tribun Jateng mencoba mengambil sampel dua apotek di daerah Banyumanik dan Semarang Timur untuk membeli obat flu dan batuk
Dari kedua apotek tersebut, Tribun Jateng mendapatkan beberapa obat racikan untuk flu. Obat tersebut ada berbungkus kemasan aluminium foil dan ada juga tanpa bungkus. Pada obat racikan tidak diketahui tanggal kedaluwarsa pada obat tersebut.
Petugas apotek DF, di daerah Banyumanik, Lilik (bukan nama sebenarnya) menuturkan, obat untuk flu dan batuk untuk satu kali minum dijual dengan harga Rp 3.000. Dengan harga tersebut mendapatkan tiga jenis obat. “Obat ini untuk nggreges dan meriang. Salah satu kandungan di dalamnya ada antibiotika,” ujar Lilik.
Dia menuturkan, obat racikan yang dijual apotek itu sesuai dengan keluhan konsumen. Selain obat flu dan batuk, kata dia, apotek juga menjual obat sakit gigi. “Kalau jual yang tidak sesuai kebutuhan, ya kami tidak berani,” katanya.
Selain itu Tribun Jateng juga membeli obat yang sama di sebuah apotek di kawasan Semarang Timur. Petugas apotik NF, Vira (juga bukan nama sebenarnya) menuturkan, obat racikan tersebut dijual dengan harga Rp 2.500. “Dengan minum obat ini batuk dan flu sembuh dalam waktu tiga hari,” tuturnya.
Tribun Jateng memperoleh lima jenis obat racikan tanpa kemasan tersebut. Obat itu hanya dibungkus plastik. Merek obat dan tanggal kedaluwarsa obat tersebut tidak diketahui. Obat flu tersebut dapat ditebus dengan harga Rp 22.500. Obat tersebut hanya dibungkus dengan koran.
“Obat tersebut isinya antibiotika yang terdiri atas obat nggreges flu dan batuk. Dosisnya tidak terlalu tinggi. Selain obat flu, di sini juga kami juga menjual obat sakit gigi, sakit kepala, dan asam urat,” imbuhnya.
Penelusuran Tribun Jateng, obat racikan tanpa resep dokter tersebut tidak dijual di apotek berjenis waralaba atau franchise. Petugas Apotek K24 yang enggan disebut identitasnya, menuturkan, obat racikan tanpa resep dokter tidak boleh diperjualbelikan.
“Obat yang boleh dijual hanya obat dengan resep dokter dan obat bebas atau obat bebas terbatas (bisa dibeli tanpa resep dokter–Red),” terangnya.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Kota (DKK) Semarang, Widoyono menyatakan, penjualan obat racikan tanpa resep dokter di sejumlah apotek di Kota Semarang merupakan tindakan terlarang.
“Obat racikan (tanpa resep dokter) berbahaya untuk dikonsumsi. Apakah yang meracik obat itu tahu persis penyakit konsumen? Apakah yang meracik bisa memastikan reaksi obat di lambung? Apa mereka tahu reaksi campuran obat terhadap konsumen?” tanyanya.
Widoyono menyebutkan, bahaya obat racikan tersebut tergantung pada konsumen yang menerima obat tersebut. Ada beberapa jenis obat keras yang diperjualbelikan, seperti obat keras yang dalam pengawasan khusus dan obat keras yang reaksinya tidak berbahaya.
Dia menjelaskan, ada tiga jenis obat di pasaran, yakni obat keras, obat bebas terbatas, dan obat bebas. Obat keras dengan lambang merah bertuliskan K dapat dibeli dengan resep dokter, obat bebas terbatas dengan label lingkaran biru, dan jenis ketiga obat bebas dengan label lingkaran hijau.
Dia mengatakan, pengawasan obat dan makanan dilakukan oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (POM). “Dinas Kesehatan melakukan pembinaan dan pengawasan. Pembinaan tersebut dilakukan pertama kali memberi izin, kami sidak,” tuturnya.
Banyaknya apotek dan toko obat di kota Semarang membuat Dinas Kesehatan Kota Semarang dalam melakukan pembinaan hanya bersifat sampling. “Peringatan tergantung tingkat kesalahanya. Sanksi yang diberikan pembinaan, peringatan keras, dan penutupan (pencabutan izin) yang akan dilakukan BPPT dengan rekomendasi Dinas Kesehatan dan BPOM,” tuturnya. (*)
Sumber: jateng.tribunnews.com
Terkait peristiwa ini, Kepala BBPOM Semarang, Endang Pudjiwati, memberikan pernyataan kepada jateng.tribunnews.com, Rabu (10/08/2016).
Kepala BBPOM: Perhatikan Label Obat
pic: kompas.com
TRIBUNJATENG.COM — Apotek boleh saja memperjualbelikan obat sesuai dengan permintaan konsumen secara eceran. Akan tetapi, jika tanpa resep dokter, obat yang dapat dijual secara bebas hanyalah obat jenis bebas dan bebas terbatas. Seharusnya, dalam kemasan obat tersebut terdapat identitas obat, termasuk tanggal kedaluwarsanya.
Pemilihan obat sebenarnya bergantung pada pengetahuan para konsumen. Apotek seharusnya menyarankan pasien untuk memeriksakan diri terlebih dahulu ke dokter sebelum membeli obat-obat tersebut. Hal tersebut perlu ada edukasi ke masyarakat.
Kami dari Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) mengalami kendala dalam memeriksa obat racikan karena agak susah mendapatkannya. Setiap kami periksa, kami tidak tahu obat racikan tersebut ada di mana. Pemilik atau petugas apotek selalu menyembunyikan obat itu setiap ada pemeriksaan dari BPOM.
Dalam pembelian obat di apotek, masyarakat harus memperhatikan label obat tersebut. Perlu konsumen ketahui, obat yang boleh dijual secara bebas adalah obat berlabel lingkaran hijau. Obat berlabel lingkaran biru adalah obat bebas terbatas, yang boleh dijual secara terbatas karena terkait dengan kontraindikasinya. Obat berlabel lingkaran merah hanya boleh dibeli dengan resep dokter.
Salah satu obat yang tidak boleh dijual bebas adalah jenis antibiotika. Apotek tidak boleh memperjualbelikan secara bebas obat keras tersebut tanpa diagnosis dari dokter.
Apotek juga tidak boleh meracik obat dan memberikannya ke konsumen tanpa resep dokter. Selain itu dokter juga tidak boleh memberikan obat secara langsung jika terdapat apotek di tempat praktiknya. Dokter yang diperbolehkan menyimpan dan memberikan obat adalah dokter jauh dari apotek. Selain itu dokter yang mempunyai izin untuk menyimpan obat (SIMO).
Atas kejadian penjualan obat racikan tanpa resep dokter oleh apotek, kami akan melaporkan pelanggaran apotek tersebut ke Dinas Kesehatan. BPOM tidak mempunya wewenang untuk memberikan sanski. BPOM hanya memberikan memberikan rekomendasi ke Dinas Kesehatan agar diberikan sanksi terhadap pelaku farmasi. Dinas Kesehatan yang memberikan sanksi dari rekomendasi kami.
Sumber: jateng.tribunnews.com
-
AuthorPosts
- You must be logged in to reply to this topic.