- This topic has 0 replies, 1 voice, and was last updated 8 years, 3 months ago by zahran.
-
AuthorPosts
-
August 24, 2016 at 10:36 am #3663
Hi farmasetikers!
Seorang mantan area manager di sebuah perusahaan farmasi membongkar praktik mafia farmasi yang telah berjalan bertahun-tahun dan melaporkannya kepada Bangka Pos.Dokter Ditawari Ratusan Juta
BANGKAPOS.COM — Seorang mantan area manager di sebuah perusahaan farmasi mengungkapkan dugaan praktik kerjasama dokter dan perusahaan farmasi yang berimbas pada kenaikan harga obat. Dugaan praktik kerjasama itupun sudah diadukannya ke Polda Babel.
Pascapengaduan itu, dia mengaku dipanggil Ikatan Dokter Indonesia yang disebutnya meminta agar menghentikan laporan dan tidak dipublikasikan. Namun pria 41 tahun itu tetap keukeuh utuk melanjutkan untuk menunjukkan kebenaran ini.
“Saya datang sama penyidik waktu itu hari jum’at ketemu dengan IDI, arsada Apersi ngobrol-ngobrol yang intinya meminta ini untuk dihentikan, saya juga nggak enak karena dekat dengan dokter bahkan ada dokter yang bilang waduh ini bakalan kena saya, beberapa reaksi yang saya lihat ada yang takut juga, kaget kalau saya yang melaporkan,” katanya kepada Bangka Pos pada pekan lalu.
Tak lama kemudian dirinya juga disambangi oleh bos besar mantan perusahaanya yang mengajak bertemu di satu Hotel di Bangka. Tujuan dari pertemuan ini rupanya tak jauh berbeda dengan permintaan IDI, bahkan dirinya sempat ditawari rupiah dengan melakukan negosiasi.
“Direkturnya sama satu pemegang saham yang datang, mereka minta kasus ini disetop menawakan uang juga kan ke saya, waktu itu saya berpikir dan saya tahu kemampuan perusahaan jadi saya jawab asal 20 miliar karena saya tau mereka tidak akan mau bayar sebesar itu, kemudian mereka menyatakan negoisasi dengan menyebutkan angka ratusan juta saya bilang nggak mau dan mereka nggak sanggup karena memang bukan itu tujuan saya,” ujarnya.
Ia menyebutkan dirinya memiliki beban moral jika tidak menyampaikan hal ini pasalnya dirinya mengantongi bukti-bukti vital dari transaksi antara perusahaan dan dokter yang bersangkutan. Bahkan dirinya sudah siap dengan risiko yang ditanggung terkait langkah yang diambilnya.
Menurutnya keinginannya untuk menyampaikan hal ini agar obat dapat dijual dengan harga yang realistis dan adanya sistem baru yang bisa memutus mata rantai kerjasama ini.
“Sebenarnya saya dilema untuk mengeluarkan data dan semua ini karena saya juga dekat dengan dokter-dokter ini dulunya,” ujarnya.
Disinggung terkait berhentinya dirinya dari perusahaan bekerja ia menyebutkan kondisi lingkungan kerja sudah tak mendukung.
“Saya waktu itu dikondisikan tidak nyaman bekerja karena saya orangnya vokal, waktu gaji ditahan saya sempat mau lapor polisi, selain itu saya juga merasa produktivitas mulai menurun dan saya memang ada niatan mau berhenti karena ada beban juga untuk ini, saya berhenti itu bulan Februari 2016,” sebutnya.
Ia mengatakan dirinya memiliki banyak dokumen dan data terkait hal pasalnya ia kumpulkan dirumah dari beberapa tahun silam untuk kepentingan yang tak terduga.
Menurutnya perusahaannya memiliki kebiasaan untuk memusnahkan data transaksi itu setiap tahunnya.
“Saya memiliki banyak dokumen ini karena memang setiap tahun dan bukti rekapan dan historis transfer dan sudah berapa banyak yang dijual itu dihancurkan oleh perusahaan. Tapi untuk jaga-jaga saya selalu punya minta bukti ke perusahaan kalau sudah ditransfer ke dokter yang bersangkutan.
Saya dulu gak berani membeberkan ini tapi ketika saya lihat kasus ini pernah menguap tetapi hilang begitu saja saya jadi kesel dan berniat mau menunjukkan yang sebenarnya. Selain perusahaan saya ada banyak perusaaahaan besar kartel yang juga memengaruhi harga obat,” bebernya.
Menurutnya kerjasama yang terjadi antara dokter dan perusahaan farmasi ilegal pasalnya tidak ada aturan yang mengatur memperbolehkan hal ini terjadi.
Bentuk kerjasama yang boleh dilakukan hanya berbentuk simposium yang sesuai dengan bidang dan keahlian masing-masing dokter yang kemudian difasilitasi oleh perusahaan farmasi untuk kepentingan simposium.
“Seharusnya tidak ada kerjasama dengan dokter, tetapi kerjasama dengan rumah sakit. Kalau mau kerjasama itupun berbentuk simposium. Simposium si perusahaan farmasi mengajukan ke rumah sakit pilih dokter mana untuk menghadiri simposium, misalnya simposium terkait kandungan berarti kan dokter kandungan yang boleh ikut ini kan hanya dokter kandungan, istri atau anak dokter itu gak boleh ikut kecuali istrinya dokter umum bisa ikut tapi kalau misalnya istrinya dokter internis ya gak bisa ikut,” ujarnya.
“Selama ini kan kalau simposium itu buka stand misalnya saya mengajukan dokter ini, taunya dia sudah ada sponsor lain nantinya dia bilang mentahnya aja, atau kadang-kadang tau-tau anak istrinya ikut juga, kalau simposium beneran kan gak semua orang bisa ikut memang perusahaan faramasi yang membiayai akomodasi, transportasi, dan semuanya,” imbuhnya. (o1/o2)
Sumber : Bangkapos.com
200 Dokter di Babel Main Resep Obat
BANGKAPOS.COM, BANGKA — Sedikitnya 200 dokter di Bangka Belitung disebut terlibat praktik penjualan obat. Kerjasama tak tertulis antara perusahaan farmasi dan dokter, membuat harga obat jadi lebih mahal. Lonjakan harga obat lebih dari 100 persen.
Demikian disampaikan seorang mantan area manager sebuah perusahaan farmasi kepada Bangka Pos pada pekan lalu. Pria 41 tahun itu mengaku sudah dua kali membuat pengaduan masyarakat ke Polda Babel sehubungan dugaan praktik penjualan obat tersebut. Menurutnya, pengaduan itu tak kunjung berbalas.
“Bagi saya kalau ini tidak dilanjutkan beban bagi saya karena saya punya datanya, kalau saya diam, saya juga akan dipanggil nantinya, jadi saya pilih untuk menyelesaikan dengan harapan nantinya ada peraturan baru,” katanya.
“Sebenarnya motivasi saya membeberkan ini adalah agar harga obat yang diresepkan ke pasien itu realistis. Kasus ini kan juga pernah terjadi yang melibatkan PT Interbat dan ini sudah menjadi rahasia umum, yang baru ini juga Kemenkes (Kementerian Kesehatan) dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) melakukan kerjasama ini memang harus benar-benar menjadi perhatian agar praktik ini dihentikan,” lanjutnya.
Dia menceritakan praktik kerjasama dengan dokter membuat perusahaan farmasi membebankan biaya pada harga obat. Akibatnya harga obat yang sampai ke pasien lebih mahal sekitar 20 hingga lebih dari 100 persen.
“Sistem yang digunakan ini etikel atau main resep dokter, misalnya harga bahan baku dan peracikan obat itu Rp 3.000 ditambah biaya distribusi mungkin sekitar Rp 5.000 harga idealnya, tetapi dipasaran obat itu dijual Rp 10.200, selain perusahaan memikirkan biaya produksi perusahaan juga memikirkan biaya sponsorship atau kerjasama dokter ini maka dijuallah obat itu dengan harga Rp 10.200 ini kan dua kali lipat naik harganya,” katanya.
Menurutnya, praktik kerjasama itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Bahkan perusahaan farmasi bisa menggelontorkan ratusan juta rupiah per bulan untuk hubungan kerjasama dengan dokter. Disebutnya, hampir 75 persen dokter di Babel memiliki hubungan kerjasama dengan perusahaan farmasi dengan katagori perentase keuntungan yang berbeda-beda. Kerjasama ini kerap dilakukan dengan dokter spesialis maupun dokter umum.
“Setiap dokter beda-beda persentase keuntunganya sesuai kesepakatan diawal, tapi saya pernah transfer Rp 250 juta kebeberapa dokter spesialis. Untuk nilai transfer Rp 250 juta misalnya komitmen kerjasamanya 24 bulan atau 2 tahun berarti dokternya dapat sekitar 10 juta perbulan. Kalau kesepakatannya 20 persen dokter harus meresepkan obat kita senilai 52 juta/bulan. Kalau sebelum 2 tahun itu selesai lebih bagus nanti kita lanjutkan lagi kerjasamanya tapi hanya kepercayaan tidak ada perjanjian tertulis,” bebernya.
Dia menegaskan tidak semua dokter mau diajak kerjasama dengan perusahaan farmasi. Saat masih menjabat, dia dan timnya juga kerap ditolak dokter. Dia menduga ada beberapa penyabab penolakan itu diantaranya memang dokter tersebut memiliki kredibilitas dan menjunjung tinggi profesionalitas.
“Kebanyakan dokter yang nggak mau ini dia yang punya praktek kecil kalau rumah sakit besar ataupun swasta hampir semuanya sudah kerjasama,” katanya.
Ada batas wajar
Sekretaris IDI Babel, dokter Fauzi mengaku tak punya kewenangan untuk bicara saat hendak dikonfirmasi Bangka Pos terkait dugaan praktik kerjasama dokter dan perusahaan farmasi. Ditemui di tempat prakteknya pada pekan lalu, Fauzi juga mengaku sedang lelah.
“Saya capek, saya sekertaris dan tidak punya kewenangan untuk bicara. Tanya ke ketua IDI saja, dokter Budiman yang ada di Belitung” kata Fauzi di di depan pintu masuk ruang prakteknya.
Hingga berita ini diturunkan, Bangka Pos belum berhasil mengonfirmasi Ketua IDI Babel, dokter Budiman.
Mantan Ketua Kode Etik Kedokteran IDI Babel, dokter Andi Nawawi menyebut ada batas-batas kewajaraan saat dokter menerima fee dari obat yang diresepkannya.“Dari perusahaan farmasi nggak masalah kalau kasih reward ke dokter, yang nggak boleh kalau dokter punya hubungan tertentu sebelumnya dokter nulis resep ini untuk dapat fee sekian. Tapi sebenarnya kita kadang nggak inget juga obat itu dari perusahaan farmasi punya A atau punya B” kata dokter yang saat ini menjabat penasihat IDI Babel itu.
Andi menyebut dokter biasanya reward sebesar 2,5 persen dari perusahaan obat. Reward itu diterima satu kali dalam enam bulan. “Itu resmi. Apotek mencatat detail dokter ini pakai ini, dari laporan ini perusahaan farmasi kasih reward ke kita. Itu biasa aja dan bukan pelanggaran hukum” ujarnya.
Hingga kini pun, lanjut Andi, belum ada aturan yang mengikat mengenai penerimaan fee dari perusahaan farmasi.
Namun apabila terdapat keluhan dari pasien, maka IDI sebagai organisasi yang menaungi dokter-dokter akan turut menegur oknum dokter yang berbuat di luar batas kewajaran.“Masalah sanksi saya nggak tau, peraturan khusus itu nggak ada cuma terbersit di ketentuan. IDI paling menegur kalau ada yang ketahuan (di luar batas wajar)” tutupnya. (o1/o2)
Sumber : bangkapos.com
- This topic was modified 4 years, 8 months ago by farmasetika.com.
-
AuthorPosts
- You must be logged in to reply to this topic.