Hi farmasetikers!
Aksi penolakan oleh para apoteker dan tenaga teknis kefarmasian terkait diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes/PMK) nomor 3 tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit terlihat di Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan Sulawesi.
Aksi Damai Apoteker Jatim Tolak Penerapan PMK Nomor 3 Tahun 2020
SEMANGAT: Ketua Umum PP Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Drs Nurul Eddy Pariang bersama anggota IAI Jatim, membentangkan spanduk dukungan UU Kefarmasian di sela-sela rapat lanjutan pembahasan UU Kefarmasian di Hotel Santika Premiere Gubeng, kemarin (3/2). (SURYANTO/RADAR SURABAYA)
SURABAYA-Sebanyak 200 apoteker Jawa Timur mengadakan aksi damai menuntut diturunkannya Peraturan Menteri Kesehatan(PMK) Nomor 3 Tahun 2020 yang dinilai merugikan apoteker. Yang isinya, di antaranya, menghilangkan pelayanan kefarmasian sebagai klaster khusus di rumah sakit (RS). Dan dikelompokkan dalam pelayanan non medis.
Merry Patrilinilla Chresna, S.Farm., M.Kes., Apt., juru bicara Aksi Damai Penyampaian Aspirasi Forum Komunikasi Apoteker Jatim menyebutkan, adanya peraturan baru tersebut sangat memprihatinkan. Dengan begitu, artinya apoteker disamakan dengan profesi yang setara dengan logistik RS.
Seperti pelayanan laundry atau perawatan jenazah yang dianggap meremehkan profesi apoteker, organisasi, dan perguruan tinggi apoteker itu sendiri.
“Apoteker ini salah satu profesi kesehatan yang punya kewajiban untuk menjamin keamanan dan keefektifan obat. Untuk menjalankan peran dan fungsi itu maka dibutuhkan undang-undang yang dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi apoteker sebagai pemberi pelayanan dan masyarakat sebagai penerima,” katanya.
“Masalahnya, sampai saat ini belum ada perundangan khusus bidang kefarmasian. Di tengah kita sedang mengupayakan undang-undang ini, tiba-tiba Kementerian Kesehatan menurunkan PMK Nomor 3 Tahun 2020 ini,” paparnya kepada Radar Surabaya setelah aksi damai, di Hotel Santika Premiere Gubeng, Senin (3/2).
Merry menyebut, jika PMK Nomor 3 Tahun 2020 tetap dilaksanakan, sama artinya pemerintah memundurkam lagi upaya apoteker dalam memajukan pelayanan farmasi di Indonesia. Yang menurutnya, belakangan sudah mulai menunjukkan perkembangan. Dari drug oriented (berorientasi obat) menjadi patient oriented (berorientasi pasien).
“Kita menerapkan ilmu-ilmu pharmaceutical care, farmasi klinis, farmakoterapi. Kemudian tiba-tiba farmasi klinis dihentikan. Artinya kita dikembalikan, wes pokoknya ngurusi obat saja. Bagaimana obat itu ketika dikonsumsi pasien terpantau, ukuran khasiatnya, keamanannya, itu kita mau dikepras. Seolah-olah kita dihambat di situ. Tidak ada komunikasi dengan pasien dalam rangka monitoring, maka saya yakin masalah terkait obat bisa jadi lebih besar,” lanjutnya.
Misalnya, Merry menjelaskan, saat ini bidang pengendalian kesehatan kefarmasian sedang berupaya dalam menekan resistensi antibiotik agar tidak semakin besar. Dengan kewenangan yang dibatasi, dikhawatirkan malah akan meningkatkan terjadinya resistensi dan infeksi yang semakin besar. Pun dengan penentuan substitusi obat yang hanya bisa dilakukan kalau wewenang apoteker tidak dibatasi PMK baru ini.
Ketua PC IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) Kabupaten Mojokerto ini menyampaikan, PMK Nomor 3 Tahun 2020 juga bertentangan dengan peraturan yang sudah ada. Seperti UU No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Dan PMK Nomor 72 Tahun 2017 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Untuk itu, ia bersama apoteker Jatim berharap PMK baru dikembalikan kepada kaidah yang sebenarnya.
Dalam aksi damai itu, pihaknya juga mendorong agar rancangan undang-undang khusus farmasi yang saat ini tengah digodog dapat segera terselesaikan. Sehingga apoteker seluruh Indonesia memiliki jaminan perundangan.
Aksi damai apoteker Jatim ini dilaksanakan bersamaan dengan Rapat Lanjutan Pembahasan RUU Kefarmasian. Yang dihadiri oleh Ketua IAI dan Dirjen Farmalkes Kemenkes RI dan Deputi 1 BPOM RI yang diadakan di tempat yang sama. “Kami ingin mendorong pusat (ketua IAI) agar dapat bergerak cepat tegas dan merespon aspirasi yang bawah, itu saja,” lanjutnya.
Muhammad Yahya, Wakil Ketua Pengurus Pusat Himpunan Seminat Farmasi Rumah Sakit (Hisfarsi) menyebutkan, PP IAI sebagai organisasi apoteker tertinggi sebelumnya sudah menyampaikan keberatan mengenai PMK Nomor 3 Tahun 2020 ke Kemenkes. Hanya saja berita tersebut belum sampai ke bawah. Hingga lahirlah aksi damai tersebut.
“Kekhawatiran rekan-rekan ternyata sudah dilakukan menurut ketua IAI Pusat. Di antaranya sudah melobi ke DPR untuk menyampaikan aspirasi. Dan sudah berkirim surat ke Kemenkes,” terangnya. (ism/opi)
SEMANGAT: Ketua Umum PP Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Drs Nurul Eddy Pariang bersama anggota IAI Jatim, membentangkan spanduk dukungan UU Kefarmasian di sela-sela rapat lanjutan pembahasan UU Kefarmasian di Hotel Santika Premiere Gubeng, kemarin (3/2).
Apoteker dan TTK Parigi Moutong Tolak PMK 03 Tahun 2020
Aksi damai Apoteker dan TTK Parigi Moutong- Tolak PMK nomor 03 tahun 2020, Apoteker dan TTK Parigi Moutong lakukan aksi pasang pita hitam. Aksi itu dilaksanakan pada Senin 3 Februari 2020. GemasulawesiFoto/Devi.
Parigi moutong, gemasulawesi.com– Seluruh Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian atau TTK di Kabupaten Parigi Moutong laksanakan aksi gunakan pita hitam. Sebagai tanda penolakan penerapan PMK nomor 03 Tahun 2020.
“Hari ini kami melakukan aksi untuk membela marwah Apoteker dan TTK Parigi Moutong. Pasca dikeluarkannya PMK nomor 03 tahun 2020 terkait klasifikasi Rumah Sakit,” ungkap Ketua PC Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Kabupaten Parigi Moutong, Devi Artini Uga di ruang kerjanya, Senin 3 Februari 2020.
Menurutnya, PMK itu sangat rancu, terkesan terlalu terburu-buru dan tidak melihat aturan yang ada sebelumnya. Aturan itu antara lain UU nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. PP 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian dan PMK nomor 72 tahun 2016 tentang pedoman teknis pekerjaan kefarmasian di Rumah Sakit.
Hari ini adalah Gerakan Nasional mogok kerja untuk pekerjaan pelayanan kefarmasian. Namun, melihat kondisi Kabupaten Parigi Moutong masih kondusif. Belum terjadi pemecatan atau bergantinya penanggung jawab instalasi farmasi di RS, dari Apoteker ke tenaga kesehatan lainnya.
Sehingga, pita hitam cukup memberikan arti dari PC IAI Parigi Moutong menolak PMK 03 tahun 2020, karena mencederai marwah dari Profesi Apoteker.
Sementara itu, Farmasis Indonesia Bersatu (FIB) sudah menerima aduan dari ratusan Apoteker seluruh Indonesia yang merasa resah dengan pemberlakuan PMK nomor 03 tahun 2020.
Berlandaskan aspirasi yang masuk, maka tim ahli dan praktisi FIB melakukan kajian terhadap PMK itu. Hasil sebagai berikut:
1.Dengan memposisikan Pelayanan Kefarmasian di jenis pelayanan Non Medis, maka PPRA (Program Pengendalian Resistensi Antimikroba) tidak akan bisa berjalan dengan baik. Sehingga dapat meningkatkan Infeksi Nosokomial di RS. Hal itu sangat membahayakan kesehatan masyarakat karena berpotensi meningkatkan resistensi Antibiotik.
2.Fungsi Apoteker di RS salah satunya adalah memberikan pemantauan terapi obat yang sudah terintegrasi dalam rekam medis sebagai salah satu Profesional Pemberi Asuhan (PPA). Apabila Apoteker di posisikan sebagai Non Medis, Siapakah yang akan memberikan dan memonitor pemberian obat berikut tanggung jawab pencatatan dalam rekam medis? Itu akan berpotensi melanggar Pasal 108 UU No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
3.Dengan meniadakan pelayanan Farmasi Klinis oleh Apoteker, maka potensi DRP (Drug Related Problem) akan Meningkat tajam, karena tidak ada pemantauan terhadap pasien terhadap penggunaan obat. Sekali lagi ini membahayakan keselamatan masyarakat.
4.Pelayanan farmasi klinis oleh Apoteker sangat penting seiring meningkatnya peresepan off label drug yang memerlukan pemantauan khusus. Peresepan obat off-label tetap memiliki resiko tinggi karena data mengenai efek samping yang kemungkinan akan timbul belum memadai. Resiko inilah yang akan diterima masyarakat
5.Pelayanan farmasi klinis oleh Apoteker juga sangat penting terkait pengkajian resep, pemantauan dosis, penggunaan hight alert medication, obat-obatan kemoterapi, nutrisi parenteral, dispensing sediaan steril dan pemantauan MESO. Dan hal ini tidak akan dapat diterapkan kalau Pelayanan Kefarmasian diposisikan sebagai Non Medis. Tentu akan sangat membahayakan keselamatan masyarakat.
6.Pelayanan farmasi klinis oleh Apoteker juga sangat penting dalam pertimbangan pergantian obat bila terjadi kekosongan perbekalan Farmasi yg perlu subtitusi baik produk ataupun kandungan nya. Untuk memberikan rekomendasi subtitusi dari perbekalan Farmasi tidak dapat diwakilkan selain Apoteker.
7.Dengan menempatkan pelayanan kefarmasian di Jenis Pelayanan Non Medis bersama laundri atau binatu, pengolah makanan, pemeliharaan sarana prasarana dan alat kesehatan, sistem informasi dan komunikasi, dan pemulasaran jenazah, sudah merendahkan harkat dan martabat Apoteker sebagai Profesi yang mendedikasikan diri untuk mengawal masyarakat mendapatkan obat yang aman dan efektif.
Dari uraian di atas, Farmasis Indonesia Bersatu (FIB) menyatakan sikap:
1.Menolak implementasi PMK Nomor 03 Tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.
2.Mendesak Menteri Kesehatan menunda implementasi PMK Nomor 03 Tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.
3.Mendorong Menteri Kesehatan merevisi PMK Nomor 03 Tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit dengan melibatkan praktisi Apoteker RS yang kompeten serta seluruh Organisasi Apoteker tanpa terkecuali.
Apoteker Banyumas kompak mengenakan seragam dan pita hitam. Itu sombol penolakan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No 3 Tahun 2020.
Apoteker di Banyumas mengenakan seragam dan pita hitam di dada kiri sebagai simbol penolakan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No 3 Tahun 2020, Senin, 3 Februari 2020. (Foto: Tagar/Abdul Wahid)
Purwokerto – Ada yang terlihat berbeda dari seragam apoteker di Banyumas, Jawa Tengah. Mereka yang tergabung di Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Banyumas kompak mengenakan pita hitam di dada sebelah kiri seragamnya.
Humas IAI Banyumas Yoga Bagus Wicaksana mengatakan, secara serentak seluruh apoteker pada hari Senin, 3 Februari 2020 mengenakan atribut seragam dan pita hitam. Hal tersebut sebagai simbol penolakan IAI terhadap Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 3 Tahun 2020.
Peraturan ini jelas tidak bisa diterima, apoteker adalah ujung tombak layanan kesehatan.
Menurutnya, di salah satu klausul pasal PMK tersebut dinyatakan apoteker masuk dalam kategori pelayanan nonmedik. Di pasal 10 ayat 2 disebutkan, pelayanan nonmedik terdiri atas pelayanan laundry/binatu, pengolahan makanan/gizi, pemeliharaan sarana prasarana dan alat kesehatan, informasi dan komunikasi, pemulasaran jenazah, dan pelayanan nonmedik lainnya.
“Peraturan ini jelas tidak bisa diterima, apoteker adalah ujung tombak layanan kesehatan. Jika apoteker dikategorikan menjadi pelayan nonmedik dampaknya bisa lebih buruk,” ungkapnya.
Ia menambahkan peran apoteker di pelayanan medik sangat penting. Mulai dari cara penggunaan obat, takaran dan lainnya. Tugas apoteker, mengelola perbekalan farmasi, pengadaan, penyimpanan, sampai distribusi ke pasien.
Ketua IAI Banyumas Hafid Nasrudin mengungkapkan, drug related problem (DRP) saat ini masih tinggi. Artinya peran apoteker masih sangat dibutuhkan. Secara umum peran apoteker melakukan screening administratif, farmasetis, dan screening klinis.
Ia mencontohkan, seseorang yang diberi obat pereda nyeri terkadang berdampak pada sakit lambung. Hal itu bisa diatisipasi oleh apoteker dengan memberi anjuran obat sekaligus dosis yang tepat.
“Jika ada kejanggalan, makan obat tak bisa dicampur, dan dikomunikasikan dengan dokter. Jadi resep hanya usulan saja,” terangnya.
Berkaitan dengan PMK tersebut pihaknya masih berkoordinasi dengan pengurus wilayah. IAI juga sudah melayangkan surat ke Kementerian Kesehatan. Jika tidak ada tanggapan pihaknya siap menggelar aksi lanjutan.