- This topic has 0 replies, 1 voice, and was last updated 5 years, 9 months ago by farmasetika.com.
-
AuthorPosts
-
March 2, 2019 at 8:14 am #11480
Hi farmasetikers!
Sebuah tulisan viral di media sosial dengan judul “SEANDAINYA TIDAK “SALAH URUS”, (SEHARUSNYA) INDONESIA SUDAH MENJADI “RAKSASA” FARMASI DUNIA” berikut adalah tulisannya :Beberapa waktu yang lalu saya pernah sharing kisah beberapa industri farmasi raksasa “Kelas Dunia”, seperti Merck, Bayer, Pfizer, Eli Llily, dan sebagainya. Bagaimana mereka membangun bisnis mereka, perjuangan jatuh bangun, dan akhirnya menjadi “raksasa” dalam bisnis industri farmasi. Kebanyakan industri farmasi tersebut mulai berdiri dalam rentang kurun waktu tahun 1800 – 1900, setelah ditemukannya mesin uap oleh James Watt tahun 1769, kecuali Merck yang sudah mulai berdiri sejak tahun 1668.
Pada umumnya, industri farmasi tersebut mulai berkembang setelah mereka menemukan senyawa kimia yang disintesa dari tumbuhan/hewan dan berhasil diformulasikan menjadi obat. MERCK berkembang menjadi “raksasa” farmasi dunia setelah berhasil mensintesa “Morphine” dari opium pada tahun 1805; BAYER menjadi “kampiun” setelah berhasil menemukan “Aspirin” yang awalnya diisolasi dari bunga padang rumput (Filipendula ulmaria, sp.); sementara PFIZER mengawali kiprahnya menjadi “jawara” farmasi dunia dengan keberhasilan mereka mensintesa obat cacing “Santonin” dari pohon Artemisia cina yang berasal dari Turkmenistan, dan masih banyak cerita – cerita lainnya tentang bagaimana raksasa – raksasa industri farmasi dunia ini mengawali kiprahnya…
Pada kurun waktu dan era yang sama.. Nun jauh di sana, di seberang lautan… Tersebutlah negeri yang indah permai.. berkilauan laksana ratna mutu manikam, tanahnya subur makmur tumbuhan beraneka warna. Negeri yang sungguh sangat strategis karena diapit oleh 2 samudra dan 2 benua, negeri yang kaya raya yang bernama NUSANTARA.
Di tanah yang membentang dari Sabang hingga Merauke, dari Pulau Miangas hingga Pulau Rote ini, yang berkuasa atasnya adalah Pemerintah Kerajaan Belanda, dan menjadi daerah koloni yang lebih dikenal dengan nama HINDIA BELANDA atau HINDIA TIMUR BELANDA (Nederland – Indie). Selama 350 tahun negeri ini dalam kekuasan Pemerintah Kerajaan Belanda. Pada masa itu pula industri farmasi juga mulai berkembang di negeri jajahan tersebut.
Pada tahun 1855, seorang Doktor dan scientist Jerman yang bertugas di Belanda, Dr. Frans Wilhem Junghuhn, membawa 121 kotak yang berisi bibit tanaman Calisaya quinine alias KINA yang berasal dari Bolivia dengan menggunakan kapal dari Belanda ke tanah Jawa. Namun karena jauh dan lamanya perjalanan dari Belanda ke Batavia, hanya 70 kotak bibit tanaman yang berhasil diselamatkan. Dr. Junghuhn kemudian menanam bibit tersebut di sebuah bukit di Cibodas, Jawa Barat. Namun karena tanahnya kurang cocok, Dr. Junghuhn kemudian memindahkan tanamannya ke lereng Gunung Malabar di wilayah Pengalengan, Jawa Barat. Ternyata upaya Dr. Junghuhn membuahkan berhasil dan 10 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1865 untuk pertama kalinya dilakukan pemanenan kulit Kina. Sayangnya, 1 tahun sebelumnya Dr. Junghuhn meninggal dunia dan tidak sempat melihat hasil jerih payahnya tersebut.
Untuk mengolah kulit kina menjadi Pil Kina, pemerintah Belanda pada tahun 1896, untuk pertama kalinya, membangun pabrik pengolahan kina dan diberi nama “Bandoengsche Kinine Fabriek N.V” di Jalan Pajajaran Bandung. Dan mulailah “era baru” dalam industri farmasi di Indonesia. Pil kina yang dibuat secara sintetik kimia dengan menyintesis molekul aktif kinine dari kulit pohon kina untuk mengobati malaria sebenarnya merupakan urutan kedua evolusi industri farmasi. Ini persis dengan pembuatan Aspirin dan antibiotik konvensional lainnya yang diproduksi oleh para “raksasa” farmasi dunia saat itu. Selama kurun waktu 1896 hingga tahun 1940-an, Kina dari tanah Indonesia ini merajai pasar dunia dan menjadi EXPORTIR kina terbesar di seluruh dunia.
Tidak kurang 90% kebutuhan obat Kina dunia, dipasok dari pabrik yang sekarang bernama “Kimia Farma unit Plant Bandung” ini. Namun kejayaan Kina Indonesia tidak berlangsung lama. Setelah Perang Dunia II, dan kemudian disusul dengan Perang Kemerdekaan 1945 – 1950, banyak perkebunan-perkebunan kina yang terlantar. Pada saat sebelum perang, pabrik ini bisa menghasilkan kulit kina sebanyak 11.000 – 15.000 ton pertahun, dan sekitar 11.000 ton di eksport ke luar negeri. Setelah perang Dunia II dan Perang Kemerdekaan usai, pabrik ini hanya mampu memproduksi sebanyak 1.000 ton obat kina. Bahkan untuk bisa hidup, perusahaan yang kemudian diambil alih Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1957 – 1959, dan kemudian berubah nama menjadi PT. Sinkona Indonesia Lestari (SIL) pada tahun 1986 ini harus import kulit kina dari China. Total produksinya sekarang pun “hanya” sekitar 150 ton pertahun. Tidak sampai 1% (satu persen) dibandingkan pada saat jayanya… Sungguh sangat mengenaskan..
Seandainya.. Sekali lagi ini – Seandainya.. Pabrik Kina ini dikelola dengan baik dibarengi dengan berbagai inovasi dan pengembangan produk secara terus-menerus, (SEHARUSNYA) perusahaan ini sudah menjelma menjadi “raksasa” industri farmasi kelas dunia yang dapat kita banggakan.. Akhh..
“SALAH URUS” KEBIJAKAN INDUSTRI FARMASI DI INDONESIA
Hengkangnya Belanda dari bumi Indonesia pasca Perang Kemerdekaan, menyebabkan terjadinya “kekosongan” pasokan obat – obatan di negara yang baru lahir ini. Untuk itu, Pemerintah Republik Indonesia membuka keran impor obat – obatan dari luar negeri. Mulai tahun 1950-an bermunculanlah distributor – distributor yang menjadi agen pabrik – pabrik farmasi besar di dunia, seperti PT Jawa Maluku yang mengageni produk Bayer (sejak 1950), disusul PT Tunggal untuk Beecham dan Hoechst, PT Tempo untuk Upjohn, PT Praja, CV Sumber Mas yang tahun 1973 berganti nama menjadi PT Enseval, PT Mugi/Dos Ni Roha untuk Ciba-Geigy dan sebagainya.
Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967 membuka pintu untuk usaha patungan seperti PT Bayer Farma dan lain- lain sehingga tahun 1970-an ada sekitar 35 industri farmasi PMA yang mendirikan pabriknya di Indonesia. Hingga kini ada sekitar 200 pabrik farmasi di Indonesia (maaf kurang lebih), empat di antaranya BUMN, sekitar 30 PMA, dan 160-an PMDN/swasta. Jumlah ini sudah jauh menurun dibandingkan dengan tahun 1980-an ketika jumlah pabrik farmasi di Indonesia mencapai 350-an. Penurunan ini terjadi karena adanya fenomena “mega-merger” di kalangan industri farmasi multinasional dan gulung tikarnya pabrik-pabrik farmasi kecil dalam negeri karena tak mampu bersaing dalam kompetisi yang semakin sengit.
Untuk bahan baku obat, 95 persen saat ini masih harus diimpor dari China, India, Eropa, Jepang, Korea, dan AS. Padahal, UU PMA tahun 1967 dulu mewajibkan pabrik obat PMA setelah beroperasi lima tahun harus memproduksi paling sedikit satu jenis bahan baku. Bayer, misalnya, sudah melakukannya untuk bahan baku Aspirin, yaitu asam asetilsalisilat, dan Beecham memproduksi ampisilin. Sayangnya, dalam perkembangannya, pemerintah kurang “memaksa” industri farmasi PMA untuk melakukan transfer teknologi. Alhasil, pabrik obat di Indonesia, baik BUMN maupun PMDN, akhirnya cuma menjadi “tukang jahit” karena ogah untuk membuat bahan baku sendiri…
Ada satu fenomena yang cukup menarik dari industri farmasi di Indonesia, jika era tahun 1970 – 1980 impor bahan baku obat 80 – 90 persen berasal dari Eropa/Amerika Serikat dan China/India hanya 10 – 20 persen, pada era 1990 hingga sekarang proporsi itu terbalik: Eropa/AS tinggal 15 – 20 persen dan China/India menjadi 80 – 85 persen.
Yang lebih menarik lagi, jika tahun 1970 hingga 1980-an industri farmasi PMA amat dominan, kini justru industri farmasi PMDN yang lebih menguasai pangsa pasar. Satu-satunya industri PMA yang masuk 10 besar hanyalah PFIZER yang memproduksi obat seperti Viagra, Lipitor dan produk – produk inovatif lainnya. Ingin tahu sebabnya? Ini tak lain karena industri farmasi PMDN yang umumnya tidak melakukan riset untuk menemukan molekul-molekul aktif bahan baku obat tinggal “menjiplak” obat- obat yang laris di pasaran dunia dan menjualnya dengan harga hampir sama atau bahkan lebih mahal dibandingkan obat-obat originatornya. Obat-obat “latah” (me-too drugs) ini, karena diberi merek dengan nama-nama yang keren, konsumen pun tak jarang terkecoh mengira mereka mengonsumsi obat-obat patent, padahal tak lebih daripada obat-obat generik bermerek !
Keuntungan industri farmasi PMDN papan atas itu pun begitu besarnya karena margin keuntungannya amat besar dibandingkan industri farmasi PMA yang harus mengeluarkan biaya berjuta-juta dollar AS untuk penemuan satu jenis molekul aktif baru. (Maaf ini hanya perkiraan saja) Akibatnya, industri farmasi PMDN amat leluasa memanjakan para dokter yang meresepkan obat- obat buatan mereka dengan bonus – bonus menggiurkan yang jelas-jelas melanggar Kode Etik Kedokteran. Fenomena kontrak- mengontrak atau kongkalikong pabrik farmasi-dokter ini oleh ahli farmakologi Fakultas Kedokteran UI, Prof dr Iwan Darmansyah, tahun 1983 dalam pidato pengukuhan guru besarnya, disebut industrio-medical complex. Inilah yang pada akhirnya membuat harga obat di Indonesia menjadi yang termahal di dunia, baik obat-obat originator buatan industri PMA dengan dalih transfer pricing maupun obat- obat “jiplakan” tadi.
Sungguh sayang teramat sayang. SEANDAINYA… (lagi – lagi hanya bisa bilang “SEANDAINYA”).. keuntungan besar yang dinikmati oleh industri farmasi nasional saat itu diinvestasikan untuk membangun sarana penelitian dan pengembangan produk terutama untuk penemuan obat-obat baru, TENTU saat ini industri farmasi di Indonesia tidak hanya sekedar menjadi “tukang jahit”. Demikian pula saat kurs nilai tukar dollar “bergejolak” seperti saat ini, tentu kalangan industri farmasi tidak harus panik dan kelimpungan.
Inilah “potret buram” industri farmasi Indonesia selama ini yang sebenanya memiliki 2x kesempatan untuk menjadi “raksasa” industri farmasi kelas dunia namun karena “salah urus” akhirnya terpuruk dan harus puas hanya menjadi “tukang jahit” saja…
#maafhanyapenilaiansaja
#hanyabakulobatbiasa
#sejarahfarmasiduniaSumber : mohon tulis dikomentar bila menemukan sumber penulisnya
-
AuthorPosts
- You must be logged in to reply to this topic.