Tagged: apoteker, apoteker gaib
- This topic has 0 replies, 1 voice, and was last updated 6 years ago by Fariz Muhamad.
-
AuthorPosts
-
December 20, 2018 at 12:15 am #11215
Abstrak
Proses pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada phamaceutical care. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Beberapa fakta menunjukkan bahwa tidak semua apoteker melakukan pelayanan kefarmasian sesuai standar di apotek. Sering dijumpai bahwa apoteker tidak berada pada tempat prakteknya yaitu Apotek. Masyarakat lebih mengenal apoteker di apotek sebagai penjual obat. Sebanyak 64% apoteker hanya mengandalkan petugas di apotek dan 3% apotek yang pelayanan kefarmasiannya belum optimal dan pelayanan kefarmasian sebagian apotek dilakukan oleh tenaga teknis kefarmasian bukan apoteker. Hal inilah yang memunculkan fenomena apoteker “Gaib”, numpang nama apoteker, atau apoteker yang hanya datang saat mengambil gaji. Keluhan paling utama adalah kesejahteraan apoteker yang rendah dimana kurangnya upah/gaji apoteker. Kendala lain yang terjadi adalah 1) beban kerja yang banyak; 2) kurangnya tenaga kefarmasian; 3) tidak adanya petunjuk yang jelas dalam praktek kefarmasian; 4) kurangnya komunikasi dengan dokter / tenaga kesehatan lainnya, dan lain sebagainya. Banyaknya kendala yang terjadi tersebut harus dilakukan perubahan agar eksistensi Apoteker tetap bertahan dan citra farmasi Apoteker di masyarakat tidak buruk.
Kata kunci : Pharmaceutical Care, Apoteker Gaib, Eksistensi Apoteker
Pendahuluan
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (Permenkes No. 9 tahun 2017). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1027/MenKes/SK/IX/2004, pelayanan kefarmasian adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Proses pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada phamaceutical care. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien.
Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah melaksanakan pemberitahuan informasi, monitoring penggunaan obat dan mengetahui tujuajn akhir sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik.
Proses penyerahan obat diapotek tidak selalu diberikan oleh apoteker pengelola apotek. Pelayanan kefarmasian banyak macamnya, konsumen membutuhkan kepuasan sehingga perlu dite-liti bagaimana hubungan dan pengaruh masing-masing hal tersebut. Hal yang sebenarnya diinginkan konsumen untuk kepuasan dalam pelayanan kefarmasian dapat diketahui sebagai bahan pertimbangan bagi peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek.
Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan dalam proses pelayanan. Menurut Rubiyanto, 2003, terdapat kecenderungan apoteker di Indonesia belum memberi perhatian terhadap pelaksanaan tugasnya sebagai pemberi informasi obat. Padahal pemberian pelayanan informasi bukan hanya untuk meningkatkan citra apoteker semata, namun bertujuan untuk mengingatkan kembali pada kewajiban yang menyertai keberadaan apoteker sebagai penyedia informasi dan pelayanan. Kecenderungan seperti ini juga sering terjadi di wilayah Indonesia lainnya.
Perubahan dan Perkembangan Praktek Kefarmasian
Mengingat pentingnya pelayanan kefarmasian dalam suatu pelayanan kesehatan rasional yang tepat sasaran, pengaruhnya sangat besar menunjang fungsi apotek sebagai tempat pelayanan kefarmasian, membangun peran apotek sebagai pusat pelayanan informasi obat di tengah masyarakat serta menumbuhkan eksistensi apoteker sebagai salah satu tenaga kesehatan, maka perlu dilakukan suatu penelitian yang mengarah kepada kinerja pelayanan kefarmasian di apotek.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini, desakan untuk melaksanakan pharmaceutical care dengan mengutamakan praktik kefarmasian oleh apoteker semakin menguat. Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian tahun 2009, telah melegalkan pekerjaan kefarmasian oleh apoteker dalam pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran dan pelayanan sediaan farmasi. Praktik Kefarmasian dapat dilakukan di sarana distribusi, produksi dan pelayanan kefarmasian.
Pelayanan kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented) berkembang menjadi pelayanan komprehensif meliputi pelayanan obat dan pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Praktik kefarmasian dilakukan berdasarkan standar pelayanan kefarmasian di Apotek, yang ditetapkan sebagai acuan pelaksanaan pelayanan kefarmasian di apotek.
Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien.
Fakta-Fakta yang Terjadi dilapangan
Beberapa fakta menunjukkan bahwa tidak semua apoteker melakukan pelayanan kefarmasian sesuai standar di apotek. Sering dijumpai bahwa apoteker tidak berada pada tempat prakteknya yaitu Apotek. Masyarakat lebih mengenal apoteker di apotek sebagai penjual obat. Pada penelitian-penelitian di kota Surabaya Timur, pasien sering dilayani oleh asisten apoteker (42,21%), pegawai apotek (24,30%), baru kemudian apoteker (13,20%), dan lain-lain.
Menurut penelitian Herman dkk, 2003, bahwa sebanyak 64% apoteker hanya mengandalkan petugas di apotek dan 3% apotek yang pelayanan kefarmasiannya belum optimal dan pelayanan kefarmasian sebagian apotek dilakukan oleh tenaga teknis kefarmasian bukan apoteker. Selain itu sebagian besar rumah sakit belum sepenuhnya melaksanakan peraturan pemerintah tentang apoteker yang melakukan visite ke pasien, karena program ini hanya berlaku bagi Rumah Sakit yang menjalankan Farmasi Klinis dimana Apoteker berkolaborasi dengan dokter untuk melakukan visite ke pasien dan melakukan monitoring penggunaan obat. Apoteker masih belum dikenal dimasyarakat dibandingkan tenaga profesi lainnya seperti dokter. Belum ada istilah Apoteker Cilik yang mampumemberikan citra positif bagi profesi apoteker, berbeda dengan program Dokter Kecil yang diperkenalkan terutama pada siswa tingkat dasar.
Supardi dkk., menjelaskan bahwa pada umumnya apoteker pengelola apotek telah mengetahui dan mempunyai dokumen standar pelayanan kefarmasian di apotek (SPKA), tetapi pelaksanaannya belum baik. Hal ini karena keterbatasan kemampuan apoteker dalam farmasi klinis dan ilmu manajemen, sehingga dibutuhkan materi pelatihan untuk melaksanakan SPKA mencakup ilmu kefarmasian dan ilmu manajemen.
Menurut Herman dan susyanty bahwa standar pelayanan farmasi di apotek dan Good Pharmacy Practice menuntut peran yang dominan dari apoteker di farmasi komunitas dalam hal waktu dan kemampuan. Pelatihan dan pendidikan berkelanjutan juga dibutuhkan, antara lain melalui penataran, seminar, sosialisasi dan supervisi praktik farmasi di farmasi komunitas yang mungkin melibatkan kerja sama dengan organisasi profesi dan PT Farmasi.
Data yang dikumpulkan oleh tim evaluasi Konas menunjukkan bahwa pada tahun 2013 terdapat 40.181 tenaga farmasi terdaftar, dan dari jumlah tenaga farmasi yang terdaftar jumlah apoteker yang berpraktik adalah sebesar 30.000. Dengan demikian, tersedia lebih kurang 1,18 apoteker per 10.000 penduduk. Jumlah apoteker yang sampai saat ini telah tersedia belum dapat memenuhi, baik secara kuantitas, kualitas, maupun pemerataan. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan tenaga farmasi perlu terus menerus dilakukan melalui berbagai strategi, misalnya inovasi kurikulum pendidikan tinggi dan menengah farmasi, penentuan standar kompetensi profesi, dan pelatihan-pelatihan dalam lingkungan kerja.
Apoteker sebagai salah satu tenaga kesehatan telah diakui eksistensinya di Indonesia melalui Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian. Profesi ini memiliki tanggung jawab dalam pencapaian hal-hal tersebut di atas. Apoteker mempunyai keahlian dan kewenangan dibidang kefarmasian baik di apotek, rumah sakit, industri, pendidikan, dan bidang lain yang berkaitan dengan kefarmasian. Sayangnya, profesi ini kurang diakui keberadaannya oleh masyarakat dibandingkan dengan negara lain. Banyak yang mengatakan kesejahteraan apoteker di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan dibanding sepuluh tahun yang lalu.
Munculnya Fenomena Apoteker “GAIB”
Dilandasi oleh kesejahteraan Apoteker yang memprihatinkan inilah timbul fenomena apoteker “GAIB”. Apoteker gaib adalah apoteker yang keberadaan nya tidak pernah berada dia apotek namun SIK nya terpampang sebagai apoteker penanggung jawab apotik. Ditengah santernya pemerintah menggalakan peran apoteker dengan praktik apoteker di apotik yang mewajibkan apoteker datang tiap hari ke apotek untuk melakukan pharmaceutical care tidak diiringi dengan mengimbangi gaji / sellery apoteker.
Bayangkan bahkan ada apoteker yang di gaji hanya 1,5 juta/bulan sangat jauh sekali dengan UMR kabupaten Karawang. Hal ini pula yang memunculkan istilah numpang nama apoteker, apoteker “Gaib”, atau apoteker yang hanya datang saat mengambil gaji. Melihat fenomena ini di masyarakat menimbulkan keprihatinan tersendiri bagi para calon apoteker, membayangkan bagaimana saat sekolah apoteker yang lumayan menguras otak dan uang namun setelah menjadi apoteker tawaran kerja dari pemilik sarana apotek sangat minim sellery nya, hal ini juga yang menyebabkan profesi apoteker tidak begitu terkenal dimasyarakat.
Keluhan paling utama adalah kesejahteraan apoteker yang rendah dimana kurangnya upah/gaji apoteker. Kendala lain yang terjadi adalah
- beban kerja yang banyak;
- kurangnya tenaga kefarmasian;
- tidak adanya petunjuk yang jelas dalam praktek kefarmasian;
- kurangnya komunikasi dengan dokter / tenaga kesehatan lainnya;
- persediaan obat yang tidak memadai;
- pasien yang tidak datang sendiri sehingga sulit melakukan konseling dengan pasien yang bersangkutan;
- Pasien yang sering bergonta-ganti apotek juga menjadi kendala bagi apoteker untuk dapat melakukan konseling dengan pasien;
- Kesadaran yang rendah akan tanggung jawab dari apoteker untuk melakukan pelayanan di apotek; dan
- Kurangnya kemampuan komunikasi sehingga menghambat proses konseling.
Solusi untuk Mempertahankan Eksistensi Apoteker
Banyaknya kendala yang terjadi tersebut harus dilakukan perubahan agar eksistensi Apoteker tetap bertahan dan citra farmasi Apoteker di masyarakat tidak buruk. Beberapa solusi yang dapat dilakukan adalah
- Meningkatkan kesejahteraan apoteker dengan meningkatkan standar gaji;
- Meningkatkan frekuensi kehadiran apoteker di apotek agar dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang nyata;
- Meningkatkan kualitas apoteker dari segi kompetensi / kemampuan dan keterampilan serta komunikasi sehingga apoteker mampu melakukan pharmaceutical care (konseling);
- pemerintah menerapkan kehadiran apoteker di apotek dengan bukti kehadiran, memberikan konseling kepada pasien dan memberi penghargaan bagi Apoteker yang rajin datang dan memberikan konseling di Apotek.
Kesimpulan
Fenomena apoteker “Gaib” sampai saat ini belum terpecahkan, namun penulis berharap dengan ditulisnya artikel ini ada harapan yang lebih baik untuk profesi apoteker dengan kesejahteraan yang mumpuni, perlu adanya peraturan dari pemerintah yang mengatur tentang upah/gaji Apoteker, atau mengeluarkan kebijakan untuk pemilik sarana apotek untuk melimpahkan pengelolaan apotek kepada apoteker dengan sistem bagi hasil.
Daftar Pustaka
1. Anidya, Citra Maula dkk. 2013. Acil “Apoteker Cilik” : Upaya Membangkitkan Eksistensi Profesi Apoteker dan Sistem Interpersonal Education Profesi Kesehatan Sejak Dini. Program Studi Farmasi, Fakultas MIPA, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
2. Departemen Kesehatan RI. 2009. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.1027/Menkes / SK / IX /2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta
4. Kepmenkes RI. 2017. Permenkes No. 9 tahun 2017 tentang Apotek. Jakarta.
5. Kwando, Rendi Ricky. 2014. Pemetaan Peran APoteker dalam Pelayanan Kefarmasian Terkait Frekuensi Kehadiran Apoteker di Apotek di Surabaya Timur. Fakultas Farmasi Universitas Surabaya.*** Demikian Opini kami Bila adakesalahan tolong koreksi serta dimaafkan, Terimakasih
Artikel terkait -
AuthorPosts
- You must be logged in to reply to this topic.