Tagged: dokter, Komisi pemberantasan korupsi, resep obat
- This topic has 0 replies, 1 voice, and was last updated 8 years, 1 month ago by zahran.
-
AuthorPosts
-
October 20, 2016 at 11:38 am #4915
Hi farmasetikers!
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang berusaha untuk memperbaiki tata kelola obat di Indonesia. Salah satunya dengan mengkaji tata kelola obat dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Ilustrasi obat. (Detikcom/Rachman Haryanto)Kajian KPK: Dokter Dapat 30 Persen dari Resep Obat
Jakarta, CNN Indonesia — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memaparkan hasil kajian tata kelola obat dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Rabu pagi (19/10) di Kantor KPK. Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengungkapkan, dokter bisa mengantongi keuntungan sampai 30 persen dari resep obat yang dia buatkan untuk pasien.
“Karena pedagang yang farmasi harus kasih banyak biaya dokter, ada juga dokter yang dapat persentasi dari resep yang dia buat. Informasi yang kami terima, dokter bisa dapat sampai 30 persen,” ujar Basaria dalam sebuah wawancara khusus dengan CNNIndonesia.com akhir pekan lalu.
Basaria mengatakan, kesehatan merupakan salah satu dari empat fokus pencegahan yang dilakukan KPK sepanjang tahun 2016 yaitu infrastruktur, sumber daya alam termasuk kehutanan dan lingkungan hidup, serta pendidikan.
“Yang paling penting adalah pendidikan dan kesehatan,” ujar Basaria.
Basaria menjelaskan, kajian kesehatan dilakukan tim pencegahan KPK fokus agar penjualan obat untuk masyarakat tidak lagi mahal.
Basaria mengakui, hasil kajian KPK terkait tata kelola obat dalam sistem JKN akan mengalami resistensi yang kuat dari berbagai kalangan. Namun dia meyakini harus ada perubahan di bidang kesehatan untuk menjamin kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat.
“Resisten sudah pasti, karena sudah biasa dapat sesuatu. Kami akan mengawal terus, dan otomatis harga obat turun karena mereka tidak perlu mengeluarkan biaya-biaya yang tidak seharusnya,” tutur Basaria.
Paparan yang dilakukan KPK hari ini dipimpin oleh dua Wakil Ketua KPK yaitu Alexander Marwata dan Laode Muhammad Syarif. Hadir dalam pemaparan tersebut Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek serta Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito.
Pelaksana Harian (Plh) Kepala Biro Humas KPK Yayuk Andriati membenarkan pemaparan soal kajian obat tersebut. Segera setelah dipaparkan, pimpinan KPK bersama Menteri Nila dan Kepala BPOM Penny akan menggelar siaran pers soal hasil kajian tersebut.
“Iya benar hari ini,” kata Yayuk.
KPK sebelumnya pernah meyelidiki dugaan aliran dana sekitar Rp800 miliar dari sebuah perusahaan farmasi kepada sejumlah dokter. Uang sebesar itu diduga sebagai gratifikasi untuk dokter atas jasa penjualan produk kesehatan kepada pasien.
Yuyuk saat itu mengatakan, penyelidikan atas dugaan tersebut dilakukan untuk menyimpulkan ada atau tidak tindak pidana korupsi yang dilakukan perusahaan dan pihak terkait lain.
“Laporan masih harus dianalisis dan ditelusuri. Tidak begitu ada laporan kami bisa mengusut. Kami membutuhkan waktu lagi untuk menelusuri apakah kasus tersebut memang ada kaitannya dengan korupsi,” ujar Yuyuk, 16 September lalu.
Laporan dugaan gratifikasi untuk dokter tersebut diterima KPK dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sekitar dua minggu lalu, berbarengan dengan sejumlah temuan aliran dana di sektor kesehatan.
KPK menduga aliran dana Rp800 miliar yang dikucurkan oleh perusahaan farmasi merupakan bentuk dukungan finansial bagi dokter. Selama ini, ujar Yuyuk, dukungan finansial dari perusahaan diperbolehkan untuk kepentingan tertentu.
“Sponsorship itu diperbolehkan untuk kepentingan menambah kompetensi tenaga kesehatan, bukan hanya dokter,” kata Yuyuk.
Namun dukungan finansial yang dberikan oleh perusahaan farmasi harus dikontrol Kemkes dan lembaga yang menaungi dokter penerima dana. Soal transfer Rp800 miliar dari perusahaan farmasi ke sejumlah dokter pertama kali dikemukakan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo. (agk)
sumber : cnnindonesia.com
-
AuthorPosts
- You must be logged in to reply to this topic.