Tagged: efek samping, obat herbal
- This topic has 0 replies, 1 voice, and was last updated 8 years, 6 months ago by farmasetika.com.
-
AuthorPosts
-
June 15, 2016 at 7:51 am #2355
Hi farmasetikers!
Akhir-akhir ini banyak sekali obat herbal beredar dan dikonsumsi oleh masyarakat yang pada akhirnya mengesampingkan obat yang diresepkan dokter. Pada umumnya beralasan obat herbal lebih aman dibanding obat non-herbal. Padahal menurut peneliti farmasi, Dr. dr. Akrom, M.Kes dari Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta ada beberapa hal yang harus diperhatikan seperti dilansir antaranews.com berikut ini.
Yogyakarta (ANTARA Lampung) – Masyarakat perlu berhati-hati memanfaatkan bahan herbal untuk pengobatan alternatif agar terhindar dari efek samping bahan tersebut, kata peneliti Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Akrom.
“Bahan herbal juga memiliki efek samping yang dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan. Hal itu yang harus dipahami masyarakat,” kata Akrom yang juga Kepala Pusat Informasi dan Kajian Obat (PIKO) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) di Yogyakarta, Selasa (14/6).
Oleh karena itu, dia mengimbau masyarakat agar menggunakan bahan herbal yang sudah terbukti aman dan dalam dosis yang wajar. Jika tidak berhati-hati, bukan kesembuhan yang diperoleh, melainkan munculnya penyakit lain di dalam tubuh.
Misalnya, obat herbal antikanker asal Tiongkok. Setelah beredar dan dimanfaatkan, ternyata menimbulkan efek negatif terhadap ginjal pasien sehingga obat itu ditarik dari peredaran.
“Ada juga obat herbal untuk mengatasi nyeri lambung, ternyata obat itu dapat memicu penyakit jantung pada penggunanya,” kata Kepala Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinis Fakultas Farmasi UAD itu.
Menurut dia, masyarakat sebaiknya mempertimbangkan dahulu faktor aman jika hendak mengonsumsi bahan herbal. Artinya, bahan herbal itu terbukti sudah dikonsumsi banyak orang dan tidak menimbulkan dampak negatif.
“Jika pengetahuan kita minim terhadap suatu bahan herbal, pertimbangkan dulu faktor amannya, sedangkan faktor manfaat menjadi pertimbangan berikutnya. Jadi, yang menjadi pertimbangan pertama dan utama itu faktor amannya,” katanya.
Menurut Akrom, akan lebih baik jika masyarakat mengetahui bahan herbal tersebut sudah lolos uji praklinis dan telah diujicobakan pada hewan atau sel dan aman untuk dikonsumsi.
Menurut dia, tanpa bukti uji klinis yang jelas, manjur tidaknya suatu bahan herbal itu sering kali sangat sugestif. Celakanya, ketika memanfaatkan satu obat herbal dan merasa sembuh, pasien kemudian meninggalkan obat utama yang telah dikonsumsi sebelumnya.
“Jika ternyata rasa sembuh itu hanya sugestif, akibatnya bisa fatal. Risiko kematian justru mengancam pasien,” katanya.
Ia mengemukakan ada beberapa kategori bahan herbal, yakni kategori jamu tradisional, obat herbal terstandar, dan obat herbal yang sudah masuk kategori fitofarmaka.
Fitofarmaka artinya obat herbal itu sudah melalui uji klinis dan dapat diresepkan untuk pasien.
“Saat ini, kami sedang melakukan uji klinis terhadap tiga bahan herbal, yakni bunga rosela, tongkat ali, dan jinten hitam. Uji klinis dilakukan untuk mengetahui khasiat bahan herbal tersebut,” kata Akrom pula.
Sumber : antaranews.com
-
AuthorPosts
- You must be logged in to reply to this topic.