Tagged: antibiotik, apoteker, resistensi antibiotik
- This topic has 0 replies, 1 voice, and was last updated 6 years, 1 month ago by farmasetika.com.
-
AuthorPosts
-
November 13, 2018 at 9:50 pm #10503
Hi farmasetikers!
Setiap bulan November, World Health Organization (WHO) mengkampanyekan kesadaran terhadap bahaya resistensi antibiotik secara global. WHO mengharapkan Apoteker bisa mengontrol penggunaan antibiotik untuk mencegah terjadinya resistensi antibiotik.Hindari Resistensi, Apoteker Diharapkan Kontrol Pemberian Antibiotik
APOTEKER dinilai perlu mengontrol pemberian obat kepada masyarakat baik di klinik, rumah sakit, maupun di apotek.
Salah satu yang menjadi perhatian Badan Kesehatan Dunia (WHO), ialah penggunaan antibiotik yang tidak bijak. Hal itu menimbulkan terjadi resistensi antibiotik yang secara klinis membahayakan tubuh manusia.
Director General of Health, Ministry of Health and Social Action, Republic of Senegal, Papa Amadou Diack, mengatakan antibiotik adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati infeksi bakteri. Masalahnya, sampai saat ini masih ada penggunaan yang keliru terhadap antibiotik.
“Penggunaan antibiotik harus berdasarkan resep dokter. Resistensi antibiotik terjadi karena tidak patuh dalam menggunakan antibiotik atau tanpa resep dokter,” ujarnya di sela-sela acara rangkaian Global Health Security Agenda (GHSA) ke-5 di Bali, yang berakhir pada Kamis (8/11).
GHSA merupakan pertemuan tahunan tingkat menteri yang bertujuan untuk meningkatkan komitmen negara dalam pencapaian ketahanan kesehatan nasional, regional dan global. Pertemuan ini sekaligus sebagai upaya berbagi pengalaman dan praktik terbaik dalam upaya mencegah, mendeteksi, dan merespons cepat berbagai ancaman penyakit menular berpotensi wabah termasuk salah satunya resistensi antimikroba atau antibiotik.
Resistensi antibiotik terjadi saat bakteri penyebab infeksi mengalami kekebalan dalam merespon antibiotik. Antibiotik yang awalnya efektif untuk pengobatan infeksi menjadi tidak efektif lagi.
Resistensi antibiotik juga bisa disebabkan karena pemberian antibiotik yang tidak bertanggung jawab pada hewan ternak. Pemberian antibiotik pada hewan ternak dianggap turut berdampak pada manusia yang memakannya. Oleh karena itu, kesehatan hewan juga perlu diperhatikan sebagai bagian dari pengendalian resistensi antimikroba.
“Selain berdampak secara klinis, berdampak pula secara ekonomi. Resistensi antibiotik menyebabkan biaya pengobatan lebih tinggi, dan meningkatkan angka kematian,” imbuh Papa.
Data WHO menunjukkan angka kematian akibat bakteri resisten sampai tahun 2014 sekitar 700 ribu pertahun. Dengan cepatnya perkembangan dan penyebaran infeksi akibat bakteri resisten, pada 2050 diperkirakan kematian akibat bakteri resisten lebih besar dibanding kematian akibat kanker.
WHO merilis beberapa tahun lalu, bahwa berdasarkan data global 45% masyarakat tidak paham mengenai penggunaan antibiotik secara bijak.
Rilis data surveilans WHO yang dimuat di laman resminya pada Januari 2018 menunjukkan adanya tingkat resistensi yang tinggi terhadap sejumlah infeksi bakteri yang terjadi di negara-negara berpenghasilan tinggi dan rendah.
Sistem Pengawasan Antimikroba Global (GLASS) WHO mengungkapkan terjadinya resistensi antibiotik secara luas di antara 500.000 orang dengan infeksi bakteri yang dicurigai di 22 negara.
Bakteri yang paling sering dilaporkan adalah Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumoniae, diikuti oleh Salmonella.
Sistem ini tidak memasukkan data tentang resistensi Mycobacterium tuberculosis, yang menyebabkan tuberculosis (TB), karena WHO telah melacaknya sejak 1994 dan memberikan pembaruan tahunan dalam laporan tuberkulosis Global.
Di antara pasien dengan dugaan infeksi aliran darah, ditemukan setidaknya satu bakteri resisten terhadap antibiotik yang paling umum digunakan hingga antibiotik yang sangat beragam. Tiap negara jumlahnya berbeda – dari nol hingga 82%.
Adapun resistensi terhadap penisilin – obat yang digunakan selama beberapa dekade di seluruh dunia untuk mengobati pneumonia – berkisar dari nol hingga 51% dari laporan negara-negara. Sementara resistensi terhadap bakteri E. Coli antara 8% hingga 65%.
Adapun yang hubungannya dengan infeksi saluran kemih menunjukkan resistensi terhadap ciprofloxacin, antibiotik yang biasa digunakan untuk mengobati kondisi tersebut.
Sumber : mediaindonesia.com
-
AuthorPosts
- You must be logged in to reply to this topic.