Tagged: allmedscare, men health, online pharmacy
- This topic has 0 replies, 1 voice, and was last updated 8 years ago by zahran.
-
AuthorPosts
-
October 23, 2016 at 2:27 pm #4989
Hi farmasetikers!
Seorang kolumnis Kompas dan pemerhati kebijakan kesehatan, Yurdhina Meilissa, MD yang juga seorang dokter umum membeberkan baik buruknya keberadaan aplikasi online penghantaran obat atau apotek online seperti yang baru-baru ini diluncurkan PT GoJek Indonesia, dengan layanan Go-Med.Tak terkecuali dengan solusi bagi Organisasi Profesi Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) dan pemerintah terkait regulasi layaknya di negara maju yang telah diterapkan saat ini.
Go-Med, Domestikasi Layanan Kefarmasian dan Kegagapan Kita
Maklumat Palermo-lah yang mula-mula menceraikan fungsi dokter dan apoteker. Sejak itu, profesi “Sang Penyembuh” terbelah dua.
Dokter hanya bertugas mendiagnosis dan meresepkan obat. Apoteker berhak menyimpan, menyiapkan dan menyerahkan obat pada pasien berdasarkan resep. Keduanya, untuk kali pertama, harus tunduk pada kendali Pemerintah.
Sejak 1231, praktik ini menjalar ke antero Eropa. Maksudnya mulia: mencegah terjadinya jebakan moral (moral hazard) dalam peresepan yang merugikan pasien.
Maklumat Go-Med, boleh jadi, juga akan menyejarah. Dari sudut pandang usaha komersial, ia menggagas produk, proses bisnis dan potensi pasar yang unik.
Mengutip surat elektronik yang diedarkan kepada Go-Jekers, “Melalui Go-Med, Anda dapat membeli sekaligus menebus obat secara instan dari 1,500 apotek, yang terdaftar di dalam Apotek Antar, tanpa biaya pengiriman.”
Obat bebas dan bebas terbatas dapat dibeli tanpa resep dokter. Serupa layanan pesan antar Go-Food atau Go-Mart. Obat keras (daftar G) dapat dibeli dengan mengunggah resep dokter.
Setelah mengkaji foto resep, apoteker rekanan akan memberikan obat via pengemudi Go-Jek. Informasi penggunaan obat lalu dikirimkan via surat elektronik kepada pasien.
Dari sudut pandang akses layanan, Go-Med berpotensi memperluas keterjangkauan. Pasien dengan hambatan akses dapat menebus resep kapan saja, tanpa perlu beranjak dari rumah.
Layanan ini juga meminimalkan ketidaknyamanan yang dirasakan pasien ketika harus menebus obat-obatan “sensitif”, Viagra misalnya.
Namun, dari sudut pandang praktik kefarmasian, Go-Med tanpa sadar telah mendorong profesi “Aphotecary” kembali terbelah dua. Apoteker yang mengelola dan menyiapkan obat, dan pengemudi Go-Jek yang menyerahkan obatnya. Kali ini, keduanya tunduk pada kendali pasar.
Domestikasi Layanan Kefarmasian
Go-Med sesungguhnya hanya penanda kesahihan: layanan kefarmasian di tanah air telah memasuki babak baru. Dalam refleksi yang lebih dalam, internet dan inovasi telah membawa layanan kefarmasian masuk jauh ke dalam ruang domestik individu.
Pernahkah Anda mengkonsumsi obat anti alergi untuk membantu tidur? Atau berkelakar akan meminum obat penghambat Kolesterol agar kegemaran melahap sepiring nasi padang tidak berbuntut kegendutan? Fenomena ini jadi bukti.
Di hilir, kerasionalan konsumsi obat individu sulit untuk direka. Karenanya, di hulu, praktek jual-beli obat sengaja tidak diinstankan. Di sinilah besar peran Apoteker sebagai penjaga gawang kerasionalan penggunaan obat. Di tangan mereka kualitas layanan kefarmasian dipertaruhkan.
Tawaran kemudahan bagi konsumen Go-Med membuka celah yang memperumit kerja apoteker untuk memberikan layanan komprehensif.
Pertama, akan sukar bagi seorang Apoteker untuk memastikan keaslian resep hanya berbekal foto yang diunggah. Betapa pun vitalnya, resep hanyalah secarik kertas yang mudah dipalsukan.
Terdapat 4,740,000 hasil pencarian untuk pertanyaan “How to make a fake prescription?” di laman pencari Google. Hanya dengan sedikit usaha, konsumen sunguh-sungguh dapat “belajar” memproduksi resep semau hati sendiri.
Kedua, dalam layanan Go-Med, resep asli akan tetap berada di tangan konsumen. Lagi-lagi ini celah yang bisa dimanfaatkan konsumen untuk melakukan penebusan resep berulang.
Dampak buruk praktik nakal ini luas. Tidak hanya terbatas pada keselamatan konsumen. Organisasi kesehatan dunia (WHO) melansir pengunaan obat yang salah dan/atau berlebih telah memicu tingginya kasus resistensi antibiotik dan antivirus. Penderita menjadi lebih sulit disembuhkan.
Research and Development (RAND) Corporation menghitung, setiap tahun, dunia merugi hingga tiga triliun dollar dikarenakan kasus resistensi.
Ketiga, pada pasien tertentu, pemberian kompendium penggunaan obat via surat elektronik sangat tidak memadai.
Pasien dalam kondisi khusus (anak-anak, orang tua, ibu hamil, ibu menyusui, pasien dengan penyakit penyerta), yang menggunakan terapi jangka panjang atau obat dengan indeks terapi sempit, dan pasien yang menggunakan banyak obat sekaligus (umumnya disebut polifarmasi) tetap membutuhkan konseling interaktif dengan Apoteker.
Data karakteristik pasien yang minim dari sebatas unggahan resep akan menyulitkan Apoteker mengidentifikasi pasien dalam kondisi khusus. Ditambah lagi, proses konseling tentu tidak dapat diwakilkan kepada pengemudi Go-Jek.
Kegagapan Pemerintah dan Peluang Perbaikan
Menimbang potensi Go-Med mengkerdilkan fungsi apoteker dan membahayakan pasien, kita patut bertanya, mengapa hingga kini tak satupun narasi keresahan pemangku kepentingan tertangkap media. Walau sesungguhnya, jeda respons ini mudah dipahami.
Bukan rahasia bahwa Pemerintah acap gagal melahirkan kebijakan ex-anteyang antisipatif. Tidak ada satupun produk hukum terkait layanan kefarmasian memuat klausul apotek online dan layanan pesan-antar obat. Maka wajar jika kontestasi diskursus di kalangan internal lahir tanpa pijakan.
Menahan laju inovasi hanya akan membuang energi. Menutup layanan Go-Med mungkin juga tidak bijak jika menilik potensi yang dimilikinya. Kemampuan Pemerintah mereformulasi kebijakan agar sesuai perkembangan dan kebutuhan hukum menjadi kunci.
RUU tentang pengawasan sediaan farmasi, alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga menjadi satu-satunya peluang kebijakan ex-postyang adaptif. Sayangnya, RUU ini mangkrak sejak 2012. Sehingga kapasitas RUU ini untuk mengakomodasi praktik kefarmasian modern masih harus ditunggu.
Peran Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) pada “masa kekosongan hukum” dibutuhkan untuk mengawasi pelaksanaan PP No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, Permenkes No. 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di Apotek dan kode etik Apoteker.
Asosiasi Apotek Seluruh Indonesia (APSI) dapat menginisiasi proses kredensial apotek. National Associated of Boards of Pharmacy di Amerika Serikat, misalnya, mempelopori program Verified Internet Pharmacy Practice Sites sejak 1999.
Walaupun, dalam praktiknya sertifikasi ini tidak diwajibkan, publikasi akreditasi apotek yang transparan telah memungkinkan publik berdaya untuk memilih dan membantu Pemerintah melakukan penegakkan hukum.
Dalam jangka pendek, ikhtiar melokalisasi dampak harus ditempuh dengan memperbaiki alur layanan Go-Med.
Ke depan, perluasan bidang usaha harus didiskusikan dengan Kementrian Kesehatan dan Organisasi Profesi agar dampak yang ditimbulkan tidak membahayakan keselamatan konsumen.
Inggris, salah satu negara dengan sistem kesehatan terbaik di dunia, perlu jeda ratusan tahun untuk mengadaptasi Maklumat Palermo ke dalam National Health Insurance Act.
Indonesia juga, barangkali, membutuhkan jeda lebih panjang lagi untuk beradaptasi pada tren apotek online dan layanan pesan-antar obat yang mulai marak sejak 1999. Pertanyaannya, kapan kita akan bergerak?
Sumber : health.kompas.com
-
AuthorPosts
- You must be logged in to reply to this topic.