Tagged: dokter, industri farmasi
- This topic has 0 replies, 1 voice, and was last updated 8 years, 1 month ago by zahran.
-
AuthorPosts
-
September 26, 2016 at 8:46 pm #4410
Hi farmasetikers!
Pengamat ekonomi politik dari Universitas Bung Karno mengkritik para oknum dokter sudah seperti marketing industri farmasi.
Pic : jppn.comProfesi Dokter dan Aliran Dana Rp 800 Miliar Pabrik Farmasi
JPNN.com JAKARTA – “Pada dasarnya, berdagang itu baik, profesi dokter itu mulia. Tapi jika pekerjaan dokter digabungkan dengan pekerjaan berdagang, maka itu sangat mengerikan, itu hal paling buruk yang ada di dunia,”
Pernyataan Pendiri Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof. dr. Raden Mochtar itu dikutip Salamudin Daeng.
Pengamat ekonomi politik dari Universitas Bung Karno mengkritik para oknum dokter sudah seperti marketing perusahaan farmasi.
Menurutnya, konsumen seringkali tidak bisa berkutik, tidak bisa menolak satu resep yang direkomendasikan dokter dengan merujuk obat milik industri farmasi tertentu.
Bahkan selama ini, setiap penjualan obat ke pasien dikembalikan lagi beberapa persen sebagai fee untuk para dokter dan hal itu sudah berlangsung lama.
“Selama ini kita diarahkan untuk membeli obat tertentu, kita tidak punya kuasa untuk menolak apa yang harus kita beli,” kata Daeng saat dihubungi media pekan lalu.
Kondisi ini pun menggelitik Daeng dengan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bahwa ada aliran dana Rp 800 miliar dari industri farmasi ke para dokter ibarat ‘Menepuk Air Di Dulang Terpercik Muka Sendiri’.
Sektor farmasi yang selama ini diklaim steril sehingga leluasa mengkritik industri tembakau secara’membabi buta’, kini kena batunya.
Belum lagi, fakta bahwa ada 18 lembaga penerima kucuran dana dari Bloomberg Initiave untuk kampanye antitembakau seperti ICW, YLKI, sejumlah perguruan tinggi, Kementerian Kesehatan, dan sebagainya hingga ratusan miliar rupiah, sudah selayaknya menjadi bahan referensi untuk mendalami suap menyuap di industri farmasi.
Nah dalam hubungan bisnis dan profesi tersebut, Daeng mengatakan bahwa oknum dokter sudah menjadi marketingnya para perusahaan farmasi dan rumah sakit hanya jadi toko obat.
Ini diperparah dengan orientasi kesehatan masyarakat yang masih sempit seputar kesehatan sehingga menjadi objek industri farmasi.
Para dokter yang kemudian membenci produk tembakau memang hasil ‘cuci otak’ industri farmasi.
“Dokter-dokter dicuci otaknya untuk memusuhi tembakau,” tegasnya.
Terkait aliran dana, menurut Daeng harus ditelusuri lebih jauh lagi karena bukan tidak mungkin juga Kementerian Kesehatan kecipratan.
Kalau ada aliran duit jumbo seperti itu, apalagi ke dokter, bisa diperiksa apakah mengandung penyalahgunaan profesi. Kedua, ditelisik lebih jauh ke Kementerian Kesehatan.
“Kita kan tidak tahu, tapi tidak mungkin kosong, lah. Kalau dokter salah gunakan profesi sementara Kementerian Kesehatan, penyalahgunaan kekuasaan, tapi harus ada bukti dan ditelusuri, meski fakta di lapangan saat ini biaya dan obat-obatan obatan sudah mencapai langit ke tujuh,” sindir Daeng.
Ia mengingatkan, kecurigaan ke Kemenkes beralasan karena lembaga itu juga seringkali menjadi perpanjangan industri farmasi.
Kemenkes saja seringkali tidak taat ke DPR dan Presiden, misal di kebijakan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang seringkali mendahului Presiden.
“WHO itu jelas dibiayai oleh perusahaan swasta dan farmasi. Salah satu penyumbang terbesar ke WHO yakni pengusaha Michael R. Bloomberg, yang getol menyuarakan gerakan anti tembakau. Itu donatur terbesar kedua sesudah Amerika Serikat, ketiga Inggris, sisanya swasla lain. Jadi korelasi industri farmasi ke WHO tidak bisa dilepaskan,” tegasnya.
sumber : jppn.com
-
AuthorPosts
- You must be logged in to reply to this topic.