Tagged: antibiotik, resistensi antibiotik
- This topic has 0 replies, 1 voice, and was last updated 7 years, 2 months ago by farmasetika.com.
-
AuthorPosts
-
July 8, 2017 at 9:20 am #6834
Hi farmasetikers!
Harian tribunews surabaya online memposting berita dengan judul “Gawat. . . Tiap Hari Ada Pasien Resisten Antibiotik di RSU dr Soetomo, Penyebabnya Bikin Miris”, cukup mencengangkan, yuk kita baca![caption id="" align="alignnone" width="700"] (kiri) ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dr Hari Paraton SpOG(K) sata menjelaskan resistensi antibiotik dalam diskusi ”Kendalikan Penggunaan Antibiotik untuk Mencegah Resistensi Antimikroba” yang diadakan PT Pfizer Indonesia (Pfizer) , Minggu (12/2/2017).[/caption]
Gawat. . . Tiap Hari Ada Pasien Resisten Antibiotik di RSU dr Soetomo, Penyebabnya Bikin Miris
SURYA.co.id | SURABAYA – Resistensi antimikroba (AMR) telah muncul sebagai salah satu tantangan dan menjadi isu kesehatan masyarakat yang semakin menyita perhatian para pemangku kepentingan kesehatan di seluruh dunia.
Bahkan di RSUD Dr Soetomo setiap hari pasti ditemukan pasien resisten antibiotik, baik rujukan atau yang memang dirawat.
Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dr Hari Paraton SpOG(K) mengatakan pemahaman dokter tidak tentu sama se- Indonesia.
Termasuk dalam pemberian antibiotik yang menjadi salah satu pemicu munculnya pasien resistensi antibiotik.
Tak jarang kasus resisten ditemukan pada pasien rujukan dalam kondisi parah.
“Tahun 2016 pernah ada pasien rujukan dengan kondisi luka bekas operasi caesar yang tidak lekas kering dan terus-terusan terbuka. Ini karena kebiasaan sebelum melahirkan meminum antibiotik dan jadi resisten, saat usai operasi oleh dokter diberi antibiotik terus, jadinya sel fauna aslibikut mati dan malah tidak bisa kering lukanya,” jelasnya usai diskusi ”Kendalikan Penggunaan Antibiotik untuk Mencegah Resistensi Antimikroba” yang diadakan PT Pfizer Indonesia (Pfizer) pada SURYA.co.id, Minggu (12/2/2017).
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2014 terdapat 480.000 kasus baru multidrug resistent tuberculosis (MDR-TB) di dunia.
700.000 kematian per tahun akibat bakteri resisten.
Selain itu, berdasarkan laporan the Review on Antimicrobial Resistance, memperkirakan bahwa jika tidak ada tindakan global yang efektif, AMR akan membunuh 10 juta jiwa di seluruh dunia setiap tahun pada tahun 2050.
“Angka tersebut melebihi kematian akibat kanker, yakni 8,2 juta jiwa per tahun dan bisa mengakibatkan total kerugian global mencapai USS 100 triliun. Data ini menunjukkan bahwa resistensi antimikroba memang telah menjadi masalah yang harus segera diselesaikan dan perlu adanya peningkatan kesadaran di masyarakat mengenai resistensi antibiotik,” ungkapnya.
Dikatakannya penggunaan antibiotik yang tidak bijak dan tidak sesuai lndikasi, jenis, dosis dan lamanya, serta kurangnya kepatuhan penggunaan antibiotik merupakan penyebab timbulnya resistensi.
Selain itu, penyebab banyaknya kasus resistensi antibiotik dipicu pula mudahnya masyarakat membeli antibiotik tanpa resesp dokter di apotek, kios atau warung.
“Seharusnya, antibiotik tidak dijual bebas dan harus berdasarkan resep dokter. Menyimpan antibiotik cadangan di rumah, memberi antibiotik kepada keluarga, tetangga atau teman merupakan kebiasaan yang banyak dijumpai di masyarakat. lni dapat mendorong terjadinya resistensi antibiotik,” lanjut dokter yang juga praktek di RSUD Dr Soetomo ini.
Ia menjelaskan, antibiotik merupakan bakteri yang dimasukkan dalam tubuh sehingga bisa mengatasi infeksi dari bakteri. Bukan mengobati virus. Sehingga tidak semua penyakit infeksi perlu ditangani dengan memberi antibiotik,
“Perlu disadari bahwa antibiotik digunakan untuk mengobati infeksi bakteri, bukan mencegah atau mengatasi penyakit akibat virus,” jelasnya.
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah ikut berkomitmen dalam pengendalian AMR.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah antara lain telah berfungsinya Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) yang dibentuk 2014 dan pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba di awali pada 144 rumah sakit rujukan nasional dan regional serta Puskesmas di 5 provinsi pilot project termasuk Jawa Timur.
“ Pasien harus cerdas, dokter juga tidak boleh sembarangan memberi antibiotik. Perlu kerjasama semua pihak untuk mengatasi masalah resistensi antibiotik ini, terutama keterlibatan lnstitusi pendidikan, organisasl kemasyarakatan, organisasi profesi, perusahaan farmasi dan dinas kesehatan,” jelasnya.
Sebab, jika resistensi antibiotik dialami seseorang, tidak ada antibiotik yang bisa membantubjika terjadi infeksi virus. Sebab jumlah antibiotik yang ada masih tterbatas dan untuk membuat antibiotik baru dibutuhkan 8 kali penelitian.
“1 kali penelitian bisa sampai 2 triliun, Jadi butuh 16 triliun untuk menemukan 1 antibiotik baru. Dan waktunya tidak singkat,”jelasnya.
Sumber : tribunews.com
-
AuthorPosts
- You must be logged in to reply to this topic.