Tagged: bahan baku obat, garam farmasi, industri farmasi, kimia farma, mandiri bahan baku obat, Obat, produksi
- This topic has 0 replies, 1 voice, and was last updated 8 years, 4 months ago by Hafshah.
-
AuthorPosts
-
August 19, 2016 at 5:16 pm #3569
Hai, Farmasetikers!
Dilansir dari bisnis.com, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Unggul Priyanto menyatakan manfaat penguasaan teknologi produksi garam farmasi dalam negeri dapat menurunkan impor bahan baku farmasi hingga 40% pada 2019.
“Selama ini hampir 100%, garam farmasi masih impor,” ujarnya di sela-sela acara penghargaan BJHTA di Kediaman Presiden RI ke-3 BJ Habibie di Jakarta, Kamis (18/8/2016).
Menurutnya, dengan dibangunnya pabrik garam farmasi oleh PT Kimia Farma berkapasitas 2000/ton sudah bisa mengurangi sebanyak 40% impor. Selain itu, jika pembangunan pabrik garam farmasi berikutnya berkapasitas 4.000/ton maka Indonesia sudah tak bergantung lagi dengan impor.
Unggul menuturkan manfaat lainnya terkait penggunaan garam farmasi lokal ini akan mendorong kemandirian bahan baku farmasi secara nasional, memberdayakan produk garam lokal, dan memberdayakan teknologi dan peralatan dalam negeri, serta menghemat devisa negara.
Terkait dukungan PT Kimia Farma, berikut selengkapnya dilansir dari inilah.com (19/08/2016).
Kimia Farma Dukung Teknologi Garam FarmasiINILAHCOM, Jakarta – Kesehatan masyarakat menjadi hal yang sangat penting harus dimiliki sebuah bangsa yang sedang membangun seperti Indonesia. Tapi celakanya salah satu unsur yang dapat mendukung tercapainya kesehatan masyarakat yakni obat-obatan masih “dikuasai” asing, dalam arti impor.
Persoalan pelayanan kesehatan hingga penyediaan obat-obatan bagi masyarakat di negeri ini memang bisa sangat “tricky”, terlebih hingga hari ini kebutuhan bahan baku aktif dan bahan baku industri farmasi nasional 96 persen masih bergantung pada produk impor.
Padahal efek domino dari mahalnya harga obat dapat berujung pada mahalnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Ujung-ujungnya masyarakat dengan ekonomi menengah ke atas menjadi miskin, sedangkan masyarakat menengah ke bawah “terkubur” dalam ketidakberdayaannya.
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) semakin menjadi tumpuan, dengan 170 juta masyarakat kini telah tercatat sebagai anggota BPJS Kesehatan.
Namun dengan lemahnya promosi preventif kesehatan maka pil pahit yang harus ditelan oleh Pemerintah tidak lain semakin meningkatnya defisit JKN yang, menurut Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany, diperkirakan akan mencapai angka Rp9 triliun di 2016.
Presiden ke-3 BJ Habibie dalam penyerahan Bacharuddin Jusuf Habibie Technology Award (BJHTA) ke-9 mengatakan hanya anak bangsa sendiri yang bisa membangun bangsa ini. Dan kunci pembangunan itu sendiri adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).
“Manusia tanpa iptek tidak ada artinya. Iptek tanpa manusia tidak mungkin,” ujar Habibie.
Ilmuwan, ia menegaskan tidak dibenarkan mempunyai pandangan masa lampau dan masa kini, tetapi harus ke masa depan.
Bagi dirinya, 20 tahun ke depan membangun industri strategis nasional sama saja dengan dimulai hari ini. Karena manusia butuh proses pembudayaan dan pendidikan untuk menyatukan budaya, agama, dan ilmu pengetahuan dan teknologi guna membangun industri strategis, sehingga 20 tahun berikutnya tanpa disadari mereka sudah unggul.
Kemampuan anak bangsa menciptakan dan menguasai teknologi yang mampu memupuk kemandirian bangsa seperti yang berhasil dilakukan tim garam farmasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), ia mengatakan menjadi hal yang harus disyukuri.
Penguasaan teknologi Bahan baku obat yang masih impor termasuk salah satunya adalah garam farmasi, yang selama ini digunakan untuk keperluan pembuatan larutan infus, dialisat (cuci darah), sampo, oralit, minuman kesehatan, hingga pelarut vaksin. Tidak tanggung-tanggung impornya mencapai 100 persen atau mencapai 6000 ton per tahun.
Garam farmasi atau NaCl Pharmaceutical grade memang bukan garam biasa. Direktur Pusat Teknologi Farmasi dan Medika BPPT Imam Paryanto yang juga pemegang paten garam farmasi BPPT mengatakan tingkat kemurniannya mencapai 99,5 persen.
Inovasi yang dilakukan, menurut dia, dilakukan dengan memanfaatkan garam lokal yang lebih khas dan spesifik yang diolah dengan teknologi proses produksi garam farmasi yang awalnya dilakukan pada skala pilot di Pusat Teknologi Farmasi dan Medika BPPT.
Proses produksi yang dilakukan diawali dengan pelarutan bahan baku garam dan air yang menghasilkan garam kotor yang kemudian dilanjutkan dengan penyaringan untuk menjadi larutan garam bersih.
Proses dilanjutkan dengan penambahan reagen, zat yang dikonsumsi dalam proses reaksi kimia, dan pemisahan yang dilakukan berulang hingga empat kali. Kristal garam basah yang dihasilkan dari proses di atas mengalami proses pengeringan hingga menghasilkan produk garam farmasi berbentuk kristal kering.
Kualitas garam farmasi yang dihasilkan ini, menurut Imam, telah dianalisis di laboratorium PT Sucofindo, PT Biofarma, PT Otsuka Indonesia, dan PT Kimia Farma. Hasilnya menunjukkan produk ini memenuhi 12 parameter pengujian Farmakope Indonesia edisi V, dan mampu menghasilkan kadar NaCl 99 hingga 100.5 persen.
Mandiri garam farmasi Menurut Imam, pengembangan garam farmasi mulai dilakukan pada 1995 dan melalui proses analisis laboratorium pada 1999. Pengajuan paten dilakukan pada tahun 2000, namun baru 2010 paten dikeluarkan.
Bersamaan proses memperoleh paten, ia mengatakan invensi ini ditawarkan ke banyak produsen obat dan industri garam namun tidak ada yang mengambil peluang tersebut karena lebih memilih jalan gampang dengan mengimpor.
Gayung bersambut saat Menteri BUMN yang saat itu dijabat oleh Dahlan Iskan melihat besarnya kebutuhan garam farmasi di Tanah Air hingga akhirnya menugaskan PT Kimia Farma mulai menjajaki pengembangan teknologinya di lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan seperti BPPT.
MoU antara BPPT dan PT Kimia Farma di 2012 dilanjutkan dengan studi kelayakan di 2013 dan akhirnya peletakan batu pertama pembangunan pabrik garam farmasi pertama di Indonesia dengan kapasitas produksi 2000 ton per tahun pun terjadi pada Agustus 2014 di Watudakon, Jombang, Jawa Timur.
Direktur Utama PT Kimia Farma Rusdi Rosman mengatakan industri kimia dasar memang belum berkembang di Indonesia. Pengembangan pabrik garam farmasi dari skala pilot menjadi ke industri juga menghadapi kendala, namun dapat diselesaikan dengan baik.
Perusahaannya membeli bahan baku garam dari PT Garam (Persero) dengan harga Rp1000 per kilogram (kg), dan setelah melalui proses pemberian nilai tambah dan menjadi garam farmasi produk tersebut dijual Rp20.000 per kg. Bahkan Grup Merck mau membeli dengan Rp50.000 per kg karena ternyata teknologi BPPT ini mampu menghasilkan garam farmasi berkualitas sampai tingkat PA.
“Tiga bulan lalu pabrik terbangun dan mulai produksi, produk yang dihasilkan banyak peminatnya. Kita kirim juga ke Singapura dan Jepang maka yang lain tidak kebagian,” ujar dia.
Kini BMUN Farmasi ini akan kembali membangun pabrik garam farmasi dengan kapasitas 4000 ton per tahun. Invest Rp30 miliar yang dilakukan tertutup dengan hasil penjualan yang mencapai Rp300 miliar.
Kerja sama peneliti, perekayasa, dengan industri yang berbuah manis ini kemudian disadari Rusdi bahwa apa yang diperlukan untuk membangun Indonesia sesungguhnya adalah keberanian dan kecerdasan melihat peluang dengan niat yang baik.
Sumber: http://pasarmodal.inilah.com/read/detail/2318251/kimia-farma-dukung-teknologi-garam-farmasi
- This topic was modified 4 years, 8 months ago by farmasetika.com.
-
AuthorPosts
- You must be logged in to reply to this topic.