Tagged: industri farmasi, joko widodo, jokowi
- This topic has 1 reply, 2 voices, and was last updated 5 years, 3 months ago by Adham Rizki Ananda.
-
AuthorPosts
-
May 28, 2019 at 3:59 am #13865
Hi farmasetikers!
Seorang praktisi senior di dunia Industri Farmasi, Bpk. Bambang Priyambodo, melalui akun facebook pribadinya menganalisis bagaimana rapor dan nasib industri farmasi di Indonesia selama 5 tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).“NASIB” INDUSTRI FARMASI INDONESIA DI BAWAH PEMERINTAHAN JOKOWI
Hampir genap 5 tahun usia (periode pertama) Pemerintahan Presiden Jokowi, bagaimanakah “nasib” industri farmasi di Indonesia? Apakah janji pemerintahan Jokowi – JK, yang kondang disebut dengan “NAWACITA”, terutama dalam bidang industri farmasi sudah terwujud? Apakah policy (kebijakan) yang diambil oleh Pemerintah sudah “on the track” sesuai dengan tantangan yang dihadapi oleh industri farmasi di Indonesia? Bagaimana pula “kondisi” industri farmasi di Indonesia di tengah “gejolak pertarungan” para raksasa industri farmasi global? Bagaimana pula dengan perkembangan “utopia” lama, yaitu kemandirian industri bahan baku obat di Indonesia? Bagaimana pula kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Jokowi dalam menghadapi “revolusi industri 4.0” dalam bidang Farmasi (yang sering disebut “Pharma 4.0)? Sudah siapkah industri farmasi kita?
Untuk mengetahui “nasib” industri farmasi di Indonesia pada periode Pemerintahan Jokowi berikutnya (kalau jadi), mari kita dedah satu persatu, apa saja kebijakan dan capaian pemerintahan Jokowi selama periode 2014 – 2019 ini?
*Sekedar mengingatkan kembali, ada 3 “janji” JOKOWI – JK yang terkait dengan perkembangan industri farmasi di Indonesia, yang terangkum dalam NAWACITA yaitu : (5) meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia; (6) meningkatkan produktifitas rakyat dan daya saing di pasar internasional; (7) mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor strategis ekonomi domestik.
1. “KEKISRUHAN” ITU BERNAMA “BPJS KESEHATAN”
Awal munculnya BPJS Kesehatan sebagai konsekuensi dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), disambut dengan “gegap gempita” oleh kalangan industri farmasi di Indonesia. Bayangan akan pesatnya laju pertumbuhan industri farmasi di Indonesia sebagai dampak langsung dari kebijakan ini, membuat para pelaku industri farmasi seolah menjadi mabuk kepayang. Bayangan pemerintah akan menggelontorkan sejumlah dana besar yang dibiayai oleh APBN untuk mengcover program ini, membuat kalangan industri farmasi seolah “jor-joran” untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas sarana produksinya. Hampir semua kalangan industri farmasi di Indonesia – pada saat itu – sibuk melakukan peremajaan mesin – mesin produksinya. Mesin dan alat-alat produksi yang sudah lama dan tidak produktif, semua disingkirkan. Diganti dengan mesin-mesin baru yang lebih canggih, lebih efisien dan mempunyai kapasitas produksi yang besar. Bahkan beberapa industri farmasi membangun fasilitas produksi yang baru, karena dianggap lebih menguntungkan, dibanding jika harus “bongkar-pasang” pabrik yang lama. Pada saat bersamaan, CPOB edisi 2012 juga mulai diterapkan oleh BPOM yang menuntut industri farmasi untuk meng-upgrade sarana produksinya agar bisa memenuhi persyaratan CPOB: 2012 yang sering disebut dengan CPOB Terkini (c-GMP), agar bisa bersaing memperebutkan “kue” BPJS Kesehatan yang sangat “menggiurkan” tersebut. Bayangkan ada 200 juta peserta BPJS yang menjadi “captive market” dan “fixed order” senilai Rp. 6 Trilyun selama 1 tahun (bahkan lebih) tanpa beban promosi maupun “effort” lain, sungguh merupakan “kue lezat” yang sungguh memabukkan bagi kalangan industri farmasi.
Namun apa lacur..
Untung tidak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak. Program JKN dengan BPJS Kesehatan-nya justru menjadi “biang kekisruhan” industri farmasi dalam 4 tahun terakhir ini. Alih-alih mempercepat laju pertumbuhan industri farmasi di Indonesia, yang terjadi justru malah sebaliknya. Dalam 4 tahun terakhir, pertumbuhan industri farmasi di Indonesia terus melorot. Dan puncaknya adalah untuk pada tahun 2018 kemarin, untuk PERTAMA KALI dalam sejarah, pertumbuhan industri farmasi berada DI BAWAH pertumbuhan ekonomi secara nasional. Pertumbuhan industri farmasi kita tercatat HANYA sebesar 4,46%, sementara pertumbuhan ekonomi secara nasional tercatat sebesar 5,17% (http://katadata.co.id/berita/2019/03/27/menperin-industri-farmasi-nasional-tumbuh-446-tahun-lalu).
Salah satu penyebab “lunglai”-nya pertumbuhan industri farmasi di Indonesia adalah masih banyaknya hutang BPJS Kesehatan kepada industri farmasi yang belum dibayar. Data terbaru, hutang BPJS Kesehatan kepada industri farmasi tercatat sebesar. Rp. 3,6 Trilyun. Hutang iniah salah satu penghambat pertumbuhan industri farmasi nasional pada tahun 2018 yang lalu (http://www.tribunnews.com/nasional/2019/01/30/bpjs-tunggak-utang-rp-36-triliun-perusahaan-farmasi-mengeluh-ke-wapres-jk).
“Kisruh” BPJS Kesehatan juga membuat “kisruh” mata rantai distribusi obat secara nasional (http://industri.kontan.co.id/news/rantai-suplai-industri-farmasi-terhambat-utang-jkn).
Hal inilah yang bisa menyebabkan tidak tercapainya peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia yang menjadi salah satu butir NAWACITA yang diusung oleh Presiden Jokowi.
MESKIPUN pangsa pasar JKN/BPJS Kesehatan tidak lebih dari 10 % dari pasar farmasi di Indonesia secara keseluruhan, namun gaung “kekisruhannya” terbukti mampu mengguncang sendi-sendi kehidupan dan perkembangan industri farmasi di Indonesia khususnya serta dunia kesehatan pada umumnya. Kekisruhan yang menyebabkan Jokowi “dimusuhi” oleh banyak insan yang bergerak di bidang kesehatan, baik dari kalangan dokter maupun Apoteker. Jika tidak bisa ditangani dengan baik, dikhawatirkan “gonjang-ganjing” soal BPJS Kesehatan ini bisa menjadi “batu sandungan” bagi periode kedua (kalau jadi) Pemerintahan Jokowi 5 tahun ke depan.
2. INDUSTRI BAHAN BAKU OBAT: TUNAS – TUNAS YANG MULAI TUMBUH
Salah satu “penyakit kronis” industri farmasi di Indonesia sejak dulu kala adalah ketergantungan yang sangat tinggi terhadap impor bahan baku obat. Sesuai dengan salah satu butir NAWACITA, dalam (periode pertama) pemerintahan Jokowi, yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor strategis ekonomi domestik, industri bahan baku obat mendapat perhatian yang sangat serius dari jajaran Kabinet Kerja Presiden Jokowi. Berkali – kali, Presiden Jokowi menyampaikan kegundahannya soal tingginya ketergantungan impor bahan baku obat yang tidak pernah beres, sejak jaman Presiden Soeharto hingga Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudoyono ini.
Di awal pemerintahannya, Presiden Jokowi menjanjikan sejumlah kebijakan untuk mempercepat penguatan industri bahan baku obat di Indonesia (http://ekonomi.bisnis.com/read/20160127/257/513642/pacu-industri-farmasi-pamerintah-janjikan-paket-kebijakan).
Janji itu kemudian diwujudkan dalam bentuk INPRES No. 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan (http://setkab.go.id/presiden-jokowi-terbitkan-inpres-percepatan-pengembangan-industri-farmasi-dan-alat-kesehatan)
INPRES tersebut bertujuan untuk : (1) menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagai upaya peningkatan pelayanan kesehatan dalam rangka Jaminan Kesehatan Nasional; (2) meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan di dalam negeri dan ekspor; (3) mendorong penguasaan teknologi dan inovasi dalam bidang farmasi dan alat kesehatan; dan (4) mempercepat kemandirian dan pengembangan produksi bahan baku obat, obat, dan alat kesehatan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan ekspor serta memulihkan dan meningkatkan kegiatan industri/utilisasi kapasitas industri.
Secara khusus Presiden Jokowi menginstruksikan kepada Menteri Kesehatan untuk menyusun dan menetapkan rencana aksi pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan, memfasilitasi pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan terutama pengembangan ke arah biopharmaceutical, vaksin, natural, dan Active Pharmaceutical Ingredients (API) kimia; mendorong dan mengembangkan penyelenggaraan riset dan pengembangan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka kemandirian industri farmasi dan alat kesehatan; dan memprioritaskan penggunaan produk sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam negeri melalui e-tendering dan e-purchasing berbasis e-catalogue.
(Catatan : Kebijakan yang diambil pemerintah ini sama persis seperti yang pernah saya tulis beberapa waktu yang lalu soal pengembangan industri bahan baku obat di Indonesia)Presiden juga meminta Menkes untuk mengembangkan sistem data dan informasi secara terintegrasi yang berkaitan dengan kebutuhan, produksi dan distribusi sediaan farmasi dan alat kesehatan, pelayanan kesehatan serta industri farmasi dan alat kesehatan, menyederhanakan sistem dan proses perizinan dalam pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan, dan melakukan koordinasi dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk meningkatkan kapasitas BPJS sebagai payer dan memperluas kontrak dengan fasilitas pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan.
Menindak-lanjuti terbitnya INPRES tersebut, Kementrian Kesehatan mengeluarkan PERMENKES No. 17 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Pengembangan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Sementara Badan POM menerbitkan Peraturan Badan POM No. 28 Tahun 2017 tentang Rencana Strategis Badan POM Tahun 2015 – 2019 dan kemudian diubah dengan Peraturan Badan POM No. 1 Tahun 2019. Perbaikan pelayanan publik juga terus dilakukan pada tahap pre dan post-market. Pada tahap pre-market, telah diterbitkan Peraturan BPOM No. 26 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Obat dan Makanan dengan tujuan mempercepat proses perijinan di Badan POM. Selain itu, dalam rangka mendukung percepatan pengembangan bahan baku obat maupun produk biologi di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bulan Desember 2018 yang lalu membentuk Konsorsium Vaksin dan Pengembangan Produk Biologi Lainnya.
Hasilnya?
Hingga saat ini terdapat 2 industri Farmasi Produk Biologik, yaitu PT. Daewoong Pharmaceutical Company Indonesia yang didirikan pada tahun 2012 sebagai produsen pertama di Indonesia yang memproduksi erythropoetin (produk biosimilar), mulai dari bahan baku hingga produk jadi; dan kemudian PT. Kalbio Global Medika yang diresmikan oleh Presiden Jokowi pada bulan Februari 2018 (http://www.antaranews.com/berita/688981/presiden-resmikan-pabrik-bahan-baku-obat-di-cikarang).
Sedangkan untuk industri bahan baku obat (kimia), PT. Kimia Farma, tbk menggandeng PT Sungwun Pharmakopia Indonesia membentuk perusahaan patungan bernama PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia. Perusahaan patungan yang didirikan pada 25 Januari 2016 ini bergerak di bidang industri kimia, bahan baku obat active pharmaceutical ingredient dan high functional chemical. Pada 10 Oktober 2016, telah dilakukan groundbreaking oleh Menteri Kesehatan RI, Kepala Badan Pom RI, Ketua Komisi IX DPR RI, Presiden Director Sungwung Pharmacopia, Co., Ltd dan Komisaris Utama PT Kimia Farma (Persero) Tbk. sebagai pertanda dimulainya proses pembangunan pabrik bahan baku obat ini (http://www.gatra.com/detail/news/220836-kimia-farma-groundbreaking-pabrik-bahan-baku-di-cikarang).
Dalam waktu yang tidak terlalu lama perusahaan ini mampu memproduksi 8 bahan baku obat, antara lain Simvastatin, Atorvastatin, Rosuvastatin, Esomeprazole, Pantroprazole, Rabeprazole, Clopidogrel dan Sarpogrelate. Selain memproduksi bahan baku obat aktif, Perseroan juga akan memproduksi 7 (tujuh) item high function chemical yaitu Lauoylysin, Argine Nitrate, Argine, Ketoglutarate, Milk Thistle, Thiaminedilaurysulfate, Ceramide dan 1.2-Henandiol yang digunakan sebagai bahan baku untuk kosmetika dan food suplement.
“SELAMAT DATANG ERA BARU INDUSTRI BAHAN BAKU FARMASI DI INDONESIA”
Tinggal sekarang bagaimana pemerintah (periode kedua Jokowi – jika jadi) ke depan memberikan berbagai insentif terhadap industri yang baru mulai tumbuh ini. Jangan sampai kesalahan masa lalu terulang kembali yang menyebabkan industri farmasi di Indonesia hanya sekedar menjadi “tukang jahit”.
3. PHARMA 4.0, SIAPKAH INDUSTRI FARMASI INDONESIA?
Selama lebih dari 50 tahun, industri farmasi di seluruh dunia melakukan proses produksi dengan cara/metode yang disebut dengan “Batch Manufacturing”, di mana dalam proses pembuatan obat tersebut terbagi menjadi beberapa step/tahapan produksi, dari mulai proses penimbangan hingga menjadi produk jadi (finished goods). Masing-masing tahapan memiliki kontrol kualitas sendiri-sendiri yang bahkan bisa memakan waktu yang jauh lebih lama dibanding proses produksinya sendiri. Setiap tahapan hanya bisa dilakukan jika tahapan/proses produksi sebelumnya sudah dinyatakan lolos pemeriksaan oleh Bagian Pengawasan Mutu. Tidak heran jika dalam suatu proses produksi suatu obat bisa berjalan berhari-hari bahkan berminggu-minggu dari mulai proses awal (penimbangan) hingga pengemasan akhir.
Revolusi Industri 4.0, menuntut industri untuk bergerak lebih cepat, lebih adaptif, lebih flexibel dan tentu saja lebih menjamin mutu produk yang dihasilkan. Perkembangan yang sangat luar biasa dalam Revolusi Industri 4.0, ternyata juga telah merambah dunia industri farmasi, yang sering kali disebut dengan Pharma 4.0
Dengan semakin majunya teknologi dan mesin – mesin produksi, saat ini tengah dikembangkan sistem/metode baru dalam proses produksi obat, yaitu “Continuous Manufacturing”. Konsep ini melibatkan berbagai mesin produksi yang dilengkapi juga dengan berbagai peralatan/instrumen untuk pengujian yang menyatu dalam 1 mesin, yang biasa disebut “PAT (Process Analytical Technology)”.
Tentu saja konsep ini SANGAT BERTENTANGAN dengan prinsip dasar GMP (CPOB) yang menganut konsep “ZONING SYSTEM”, di mana dalam 1 ruangan hanya boleh terdapat 1 proses produksi. Sementara dalam konsep “Continuous Manufacturing”, dalam 1 ruangan terdapat berbagai proses yang berjalan secara simultan/pararel. Dengan proses yang berjalan simultan ini, maka proses produksi menjadi jauh lebih cepat, jauh lebih efisien dengan kualitas yang sama dengan menggunakan metode secara batch manufacturing.
Beberapa industri farmasi raksasa dunia, terutama di Amerika Serikat, telah mendapatkan ijin dari US FDA untuk menerapkan sistem produksi dengan sistem Continuous Manufacturing ini, seperti Johnson&Johnson, Novartis, Amgen, dan lain -lain. Namun di negara lain seperti pabrik Pfizer yang berada di Freiburg- Jerman, konsep Continuous Manufacturing ini DITOLAK oleh Otoritas pengawas obat Republik Federal Jerman, sehingga mesin – mesin yang sudah terpasang harus dibongkar kembali.
Pharma 4.0 telah membawa berbagai dampak yang sangat luar biasa bagi industri farmasi di seluruh dunia. Selain berbagai teknologi baru dalam proses penemuan obat, perkembangan teknologi mesin – mesin produksi yang digunakan dalam proses pembuatan obat juga semakin canggih.
Bagaimana antisipasi Pemerintahan Jokowi?
Sejauh ini pemerintah (dalam hal ini Badan POM), telah “mengantisipasi” perkembangan Pharma 4.0 dengan menerbitkan Pedoman CPOB edisi tahun 2018, di mana tidak saja khasiat, keamanan dan kualitas yang perlu diperhatikan namun juga Keamanan, Kualitas, Identitas, Potensi dan Kemurnian dari SETIAP produk (sediaan farmasi) yang dihasilkan. Problemnya adalah dari 200 lebih industri farmasi di Indonesia saat ini, ada yang sudah sangat siap, namun tidak sedikit pula yang bahkan terengah-engah di tengah persaingan yang kian menggila saat ini. Jangankan CPOB: 2018, wong menerapkan CPOB: 2012 saja sudah “setengah modar”… Untuk itu, pemerintah harus sangat berhati-hati dalam menerapkan aturan baru tersebut. Jangan sampai aturan baru ini justru akan “mengubur” industri farmasi di Indonesia yang pada akhirnya akan menambah barisan pengangguran intelektual yang saat ini sudah dalam taraf yang sangat mengkhawatirkan…
TANTANGAN MASA DEPAN
Tentu masih banyak tantangan yang akan dihadapi oleh industri farmasi di Indonesia di masa depan. “Perang Global” telah merambah pula bidang industri farmasi. Para raksasa farmasi dunia saat ini tengah menghadapi pertarungan yang sangat sengit. Langkah – langkah pemerintah Jokowi di bidang industri farmasi dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini sesungguhnya SUDAH TEPAT. Tinggal bagaimana para “komandan lapangan”, dalam hal ini para Menteri dan Kepala-kepala Lembaga terkait mengimplementasikan cita-cita dan gagasan sang Presiden.
Satu-satunya “NILAI MERAH” pemerintahan periode pertama Jokowi dalam bidang industri farmasi adalah soal BPJS Kesehatan. Jika soal ini tidak dapat diselesaikan dengan SEGERA, saya khawatir persoalannya akan menjadi semakin ruwet, berlarut-larut dan berujung pada kekecewaan seluruh masyarakat dan kenestapaan kalangan industri farmasi di Indonesia
So, kalau saya jadi dosen, kira – kira berapa skor yang paling pantas? Saya kira 60 sudah cukup ya…
Next : Berikutnya akan kita bahas “Kebijakan Pemerintah Jokowi di bidang Industri Obat Tradisional: Kesadaran di Ujung Perjalanan”. Jadi, jangan kemana-mana, kami akan kembali setelah pesan – pesan berikut ini..
Semoga bermanfaat
Wassalam#IndustriFarmasiIndonesia
#Kebijakan
#RaporPemerintahJokowiSumber : facebook
-
AuthorPosts
- You must be logged in to reply to this topic.